RSS

FARDLU DAN WAJIB



Fardhu dan Wajib





Ulama  ushul fiqih berbeda pendapat mengenai apakah istilah “wajib” dan “fardhu” itu memiliki makna yang sama atau tidak. Berikut ini penulis sampaikan secara ringkas syarah sebuah hadits Nabi saw yang berkaitan dengan masalah ini.


Nabi saw yang bersabda, “Sesungguhnya Allah memfardhukan berbagai macam fardhu, oleh karena itu janganlah kamu abaikan. Dia telah meletakkan batasan-batasan, maka jangan sampai kamu diterjang. Dia telah mengharamkan beberapa hal, karena sayang kepada kalian dan bukan karena lupa, maka jangan sampai kalian ributkan.”  (Imam an-Nawawi meng-hasan-kan hadits ini dalam al-Arba’iin an-Nawawiyah (hadits ke-30). Penulis al-Wafi menyebutkan sumber hadits ini dari Sunan ad-Daaruqhutni (halaman 502) dan al-Hilyah karya Abu Na’im (9/17).)


Ketika menjelaskan hadits ini Al-‘Alamah Ibnu Rajab (dalam al-Qaradhawi, 1996) mengatakan bahwa para ulama berselisih pendapat apakah “al-waajib” dan “al-fardhu” memiliki makna yang sama atau tidak? Beliau kemudian menyatakan bahwa di antara mereka ada yang mengatakan: kedua hal itu sama.  Dalam pada itu, setiap kewajiban yang didasari dengan dalil syar’i dari Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan dalil syar’i lainnya adalah fardhu. Pendapat ini dikenal sebagai pendapat para pengikut mazhab asy-Syafi’i; dan diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan, “Setiap hal yang ada di dalam shalat adalah fardhu.” Namun demikian, dikatakan dalam al-Waafi bahwa Mazhab Syafi’i tetap membedakan fardhu dan wajib dalam masalah haji. Dalam konteks ini, fardhu adalah amalan yang tidak bisa diganti dengan dam, seperti thawaf ifadhah. Sedangkan wajib adalah amalan yang bisa diganti dengan dam, seperti thawaf wada’.


Lebih lanjut, Ibnu Rajab dalam Jaami’ al-Uluum wa al-Hikam-nya mengatakan bahwa para pengikut Mazhab Hanafi membedakan definisi fadrhu dan wajib. Pengikut Hanafi mengatakan, “Yang termasuk fardhu adalah sesuatu yang ditetapkan dengan dalil qath’i (pasti, seperti Al-Qur’an atau hadits mutawatir—peny.). Adapun yang termasuk wajib ialah sesuatu yang ditetapkan dengan dalil tidak qath’i (zhanni atau tidak pasti, seperti qiyas atau khabar wahid (bukan mutawatir).


Sekalipun telah mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal di atas yang menunjukkan dukungannya terhadap kesamaan makna wajib dan fardhu, Ibnu Rajab juga menambahkan bahwa kebanyakan nas yang berasal dari Ahmad membedakan antara fardhu dan wajib. Para pengikut Madzhab Hanbali meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa ia telah berkata, “Sesuatu itu tidak dimasukkan ke dalam fardhu kecuali apabila dia terdapat di dalam kitab Allah SWT.” Imam Ahmad juga berkata, “Berkaitan dengan zakat fitrah, saya memberanikan diri untuk mengatakan bahwa sesungguhnya zakat fithrah adalah fardhu walaupun Ahmad mengatakan bahwa dia wajib.” Di antara para pengikut Mazhab ini berkata, “Maksudnya, sesungguhnya fardhu itu ialah sesuatu yang ditetapkan melalui Al-Qur’an sedangkan wajib ialah sesuatu yang ditetapkan melalui sunnah Nabi saw.” Ada pula mereka yang berkata, “Sesungguhnya Ahmad bermaksud bahwa sesuatu yang fardhu itu ditetapkan melalui dalil naqli yang mutawatir; sedangkan wajib ialah sesuatu yang ditetapkan melalui ijtihad; sehingga banyak sekali pandangan yang berkaitan dengan kewajiban ini.”


Muhammad Najib al-Muth’i (dalam Effendi, 2008) lewat kitabnya Sullam al-Wushul menyatakan bahwa perbedaan tersebut hanyalah perbedaan yang tidak prinsipil (khalaf lafzhiy). Walapun demikian, menurut Prof. Effendi, hal ini memeiliki pengaruh. Menurutnya apabila kita perhatikan hasil-hasil ijtihad kelompok ulama di atas (mengenai wajib dan fardhu), di antaranya ada perbedaan kesimpulan yang disebabkan oleh perbedaan dalam pemakaian dua istilah tersebut. Contoh, meninggalkan membaca ayat Al-Qur’an dalam shalat itu tidak sah karena ada dalil qath’i yakni ayat Al-Qur’an, dengan demikian hukumnya fardhu. Adapun meninggalkan bacaan Al-Fatihah dalam shalat itu tidak membatalkan shalat karena hukumnya wajib, berasal dari dalil yang bersifat zhanni (dari hadits yang diriwayatkan perorangan.


Wajib Sama dengan Fardhu





Jumhur (mayoritas) ulama menyamakan makna wajib dan fardhu. Effendi mengatakan bahwa ini pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Membedakan kedua istilah ini akan berakibat adanya dua sifat hukum bagi satu pekerjaan. Suatu pekerjaan bisa saja disebut sebagai fardhu hukumnya bagi sahabat yang mengetahui secara pasti kebenaran suatu dalil (qath’i) , dan kemudian menjadi wajib bagi umat yang datang sesudahnya karena mereka tidak mengetahui benar kebenaran suatu dalil (zhanni).





Dr. Abdul-Karim Zaidan mengutip dari kitab al-Musawwadah fii Ushul al-Fiqh—yang ditulis oleh oleh tiga orang ulama besar penganut madzhab Hanbali—bahwa wajib itu adalah fardhu menurut jumhur. Keduanya sama saja dan tidak ada perbedaan baik dari segi hukum maupun makna. Dua istilah ini sama-sama ditujukan untuk perkara-perkara yang pasti pelaksanaannya dan mendatangkan sanksi (dosa) apabila ditinggalkan. Dalam bagian-bagian selanjutnya dari tulisan ini, setiap kata fardhu atau wajib digunakan dalam paradigma ini, yaitu keduanya bermakna sama.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar