KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الر حيم
الحمد لله رب العالمين. نحمده ونستعينه , ونستغفره من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا, أللهم صل علي سيدنا محمد عبدك ورسولك النبي الأمي وعلي أله وصحبه وسلم تسليما بقد ر عظمة داتك في كل وقت وحين . أما بعد :
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberikan rohmat, hidayah dan inayahNya pada kita semua sehingga sampai saat ini kita semua masih dalam keadaan sehat wa al-fiyat.
Sholawat dan salam semoga tetap terkirimkan pada junjungan kita nabi agung, penebar rohmat dan penyebar benih kesucian cinta Yaitu Nabi Muhammad SAW. Pun kepada keluarga, para sahabat, tabi,in dan semua kaum muslimin muslimat.
Alhamdulillahirobbil ‘alamin penulis bisa menyelesikan penulisan makalah yang berjudul “ Dimensi Ritual dan Spiritual Ibadah Sholat “ ini tentunya berbekal pada kesungguhan usaha, keyakinan dan kemantapan dan yang terpenting adalah berkat taufiq , hidayah dan inayah dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan makalah ini. Baik dari segi bahasa, terjemah atau kutipan-kutipan yang ada. Maka dari itu penulis sangat berharap saran,masukan serta bimbingan dari para pembaca untuk menyumbangkan idenya, partisipasinya dan pikiran-pikirannya
Akhirnya kami hanya mohon pada Allah SWT semoga makalah ini memberi manfa’at pada kita semua dan khususnya pada semua Mahasiswa STAI BU tambakberas Jombang. Sehingga dapat mengantar dan mengkader jiwa-jiwa pemuda yang bermanfa’at,berguna bagi masyarakat bangsa dan Negara. Aamiin ya Robbal “alamin.
Jombang, 31 Desember 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................... i
Kata Pengantar............................................................................................................. ii
Daftar Isi...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................... 5
1.4 Metode Penulisan................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
DIMENSI RITUAL DAN SPIRITUAL IBADAH SHOLAT
1. Definisi dan Pengertian Sholat........................................................................... 7
2. Dimensi Ritual Sholat......................................................................................... 8
3. Dimensi Spiritual Sholat .................................................................................. 10
4. Antara Ritual dan Spiritual Sholat ................................................................... 12
BAB III ............................................................................................................... PENUTUP
a) Kesimpulan........................................................................................... 13
b) Saran..................................................................................................... 13
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Shalat adalah ibadah yang paling utama, namun demikian utama ini ternyata banyak yang meninggalkannya. Sebagian besar memang dilatari kemalasan namun tidak sedikit yang mengingkari kewajibannya. Yang disebut belakangan kebanyakan menjangkiti sebagian dari mereka yang belajar “Islam” ke negara-negara Barat.
Shalat sebagaimana yang kita ketahui merupakan tiang agama seperti dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya:
رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذَرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Pokok dari perkara ini adalah Islam tiang adalah shalat dan puncak adalah jihad fi sabilillah.”
Secara bahasa shalat berarti doa dengan kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
Secara bahasa shalat berarti doa dengan kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
“Shalatlah untuk mereka karena sesungguh shalatmu adalah ketenangan1 bagi mereka.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ
“Apabila salah seorang dari kalian diundang maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut. Bila ia dalam keadaan tidak berpuasa hendaklah ia makan . Namun bila ia sedang berpuasa maka hendak ia mendoakan tuan rumah.”
Ibadah yang disyariatkan ini dinamakan dengan nama doa/shalat karena tercakup di dalam doa-doa. Adapun makna shalat dalam syariat adalah peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ucapan dan perbuatan yang telah diketahui diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam disertai syarat-syarat yang khusus dan dengen niat. Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan bila dalam syariat disebutkan perkara shalat atau hukum yang berkaitan dgn shalat maka shalat ini dipalingkan dari makna secara bahasa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang di atas, maka beberapa konsep yang akan diulas dalam makalah ini adalah pembahasan-pembahasan sebagai berikut:
- Bagaimanakah pengertian sholat itu ?
- Bagaimanakah dimensi ritual dalam sholat ?
- Bagaimanakah dimensi spiritual dalam sholat ?
- Bagaimana perpaduan antara dimensi ritual dan spiritual dalam sholat ?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penulisan makalah ini, penulis mempunyai tujuan yang tergolong dalam tujuan umum dan tujun khusus.
- Tujuan umum
a. Mengetahui pengertian sholat
b. Mengetahui dimensi ritual dalam sholat
c. Mengetahui dimensi spiritual dalam sholat
d. Mengetahui bagaimana perpaduan antara dimensi ritual dan spiritual dalam sholat
- Tujuan khusus
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan khusus sebagai berikut :
a. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Bahasa Indonesia pada perguruan tinggi STAI BU Tambakberas Jombang.
b. Untuk menambah wawasan serta memenuhi kewajiban sebagai seorang mahasiswa dan remaja yang cinta ilmu pengetahuan dan ilmu agama.
c. Untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim yang wajib mencari ilmu yang berhubungan dengan agama, al–kitab dan al–hadits serta furu’-furu’nya.
1.4 Metode Penulisan dan pembelajaran
Data yang sangat akurat sangatlah dibutuhkan dalam penelitian sebuah makalah, untuk itu dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan metode diantaranya:
- Observasi
Suatu teknik yang mengamati objek yang dibahas baik secara langsung yaitu dengan mengamalkan contoh dan bentuk-bentuk akhlaq yang baik pada orang tua atau tidak langsung yaitu dengan mempelajari teori-teorinya.
2. Discussion
Suatu teknik penyampaian yang dilakukan dengan cara “ lecturing brainstorming classroom “ yang dilakukan dalam ruangan serta dipandu oleh dosen ternama mata kuliah ini.
- Studi pustaka
Pengumpulan data dengan cara memberi informasi dari kitab-kitab islam salafiyah atau internet Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bahasab tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
DIMENSI RITUAL DAN SPIRITUAL
IBADAH SHOLAT
A. Definisi & Pengertian Sholat
Menurut bahasa shalat adalah berdoa, sedangkan menurut istilah shalat adalah suatu perbuatan serta perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan persyaratkan yang ada. Hukum sholat fardhu lima kali sehari adalah wajib bagi semua orang yang telah dewasa atau akil baligh serta normal / tidak gila. Tujuan shalat adalah untuk mencegah perbuatan keji dan munkar.
Shalat adalah ibadah yang terpenting dan utama dalam Islam. Dalam deretan rukun Islam Rasulullah saw. menyebutnya sebagai yang kedua setelah mengucapkan dua kalimah syahadat (syahadatain). Rasullah bersabda, “Islam dibangun atas lima pilar: bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berhajji ke ka’bah baitullah dan puasa di bulan Ramadlan.” (HR. Bukhari, No.8 dan HR. Muslim No.16).
Ketika ditanya Malaikat Jibril mengenai Islam, Rasullah saw. lagi-lagi menyebut shalat pada deretan yang kedua setelah syahadatain (HR. Muslim, No.8). Orang yang mengingkari salah satu dari rukun Islam, otomatis menjadi murtad (keluar dari Islam). Abu Bakar Ash Shidiq ra. ketika menjabat sebagai khalifah setelah Rasullah saw. wafat, pernah dihebohkan oleh sekelompok orang yang menolak zakat. Bagi Abu Bakar mereka telah murtad, maka wajib diperangi. Para sahabat bergerak memerangi mereka. Peristiwa itu terkenal dengan harbul murtaddin. Ini baru manolak zakat, apalagi menolak shalat.
Ketika menyebutkan ciri-ciri orang yang bertakwa pada awal surah Al-Baqarah, Allah menerangkan bahwa menegakkan ibadah shalat adalah ciri kedua setelah beriman kepada yang ghaib (Al-Baqarah: 3).
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3)
Dari proses bagaimana ibadah shalat ini disyariatkan lewat kejadian yang sangat agung dan kita kenal dengan peristiwa Isra’ Mi’raj– Rasulullah saw. tidak menerima melalui perantara Malaikat Jibril, melainkan Allah swt langsung mengajarkannya. Dari sini tampak dengan jelas keagungan ibadah shalat. Bahwa shalat bukan masalah ijtihadi melainkan masalah ta’abbudi. Sekecil apapun yang akan kita lakukan dalam shalat harus sesuai dengan apa yang diajarkan Allah langsung kepada Rasul-Nya, dan yang diajarkan Rasulullah saw kepada kita.
Bila dalam ibadah haji Rasulullah saw. bersabda, “Ambillah dariku cara melaksanakan manasik hajimu”, maka dalam shalat Rasullah bersabda, “shalatlah sebagaiman kamu melihat aku shalat”. Untuk menjelaskan bagaimana cara Rasullah saw. melaksanakan shalat, paling tidak ada dua dimensi yang bisa diuraikan dalam pembahasan ini: dimensi ritual dan dimensi spiritual.
Untuk melakukan shalat ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dulu, yaitu :
1. Beragama Islam
2. Memiliki akal yang waras alias tidak gila atau autis
3. Berusia cukup dewasa
4. Telah sampai dakwah islam kepadanya
5. Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya
6. Sadar atau tidak sedang tidur
Syarat sah pelaksanaan sholat adalah sebagai berikut ini :
1. Masuk waktu sholat
2. Menghadap ke kiblat
3. Suci dari najis baik hadas kecil maupun besar
4. Menutup aurat
B. Dimensi Ritual Shalat
Dimensi ritual shalat adalah tata cara pelaksanaannya, termasuk di dalamnya berapa rakaat dan kapan waktu masing-masing shalat (shubuh, zhuhur, ashar, maghrib, isya’) yang harus ditegakkan. Dalam hal ini tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah saw., apa lagi ulama, yang mencoba-coba berusaha merevisi atau menginovasi. Umpamanya yang empat rakaat dikurangi menjadi tiga, yang tiga ditambah menjadi lima, yang dua ditambah menjadi empat dan lain sebagainya.
Dalam segi waktu pun tidak ada seorang ulama yang berani menggeser. Katakanlah waktu shalat Zhuhur digeser ke waktu dhuha, waktu shalat Maghrib digeser ke Ashar dan sebagainya (perhatikan: An-Nisa’: 103).
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (103)
Artinya shalat seorang tidak dianggap sah bila dilakukan sebelum waktunya atau kurang dari jumlah rakakat yang telah ditentukan. Dalam konteks ini tentu tidak bisa beralasan dengan shalat qashar (memendekkan jumlah rakaat) atau jama’ taqdim dan ta’khir (menggabung dua shalat seperti dzhuhur dengan ashar: diawalkan atau diakhirkan) karena masing-masing dari cara ini ada nashnya dan itupun tidak setiap saat, melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kondisi yang tercantum dalam nash.
Apa yang dibaca dalam shalat juga tercakup dalam tata cara ini dan harus mengikuti tuntunan Rasulullah. Jadi tidak bisa membaca apa saja seenaknya. Bila Rasullah memerintahkan agar kita harus shalat seperti beliau shalat, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menambah-nambah. Termasuk dalam hal menambah adalah membaca terjemahan secara terang-terangan dalam setiap bacaan yang dibaca dalam shalat. Karena sepanjang pengetahuan penulis tidak ada nash yang memerintahkan untuk juga membaca terjemahan bacaan dalam shalat, melainkan hanya perintah bahwa kita harus mengikuti Rasullah secara ta’abbudi dalam melakukan shalat ini.
Mungkin seorang mengatakan, benar kita harus mengikuti Rasullah, tapi bagaimana kalau kita tidak mengerti apa makna bacaan yang kita baca dalam shalat? Bukankah itu justru akan mengurangi nilai ibadah shalat itu sendiri? Dan kita hadir dalam shalat menjadi seperti burung beo, mengucapkan sesuatu tetapi tidak paham apa yang kita ucapkan?
Untuk mengerti bacaan dalam shalat, caranya tidak mesti dengan membaca terjemahannya ketika shalat, melainkan Anda bisa melakukannya di luar shalat. Sebab, tindakan membaca terjemahan dalam shalat seperti tindakan seorang pelajar yang menyontek jawaban dalam ruang ujian. Bila menyontek, jawaban merusak ujian pelajar. Membaca terjemahan dalam shalat juga merusak shalat. Bila si pelajar beralasan bahwa ia tidak bisa menjawab kalau tidak nyontek, kita menjawab Anda salah mengapa tidak belajar sebelum masuk ke ruang ujian. Demikian juga bila seorang beralasan bahwa ia tidak mengerti kalau tidak membaca terjemahan dalam shalat, kita jawab, Anda salah mengapa Anda tidak belajar memahami bacaan tersebut di luar shalat. Mengapa Anda harus dengan mengorbankan shalat, demi memahami bacaan yang Anda baca dalam shalat? Wong itu bisa Anda lakukan di luar shalat.
Pentingnya mengikuti cara Rasullah bershalat, ternyata bukan hanya bisa dipahami dari hadits tersebut di atas, melainkan dalam teks-teks Alquran sangat nampak dengan jelas. Dari segi bahasa dan gaya ungkap Alquran selalu menggunakan “aqiimush shalaata” (tegakkankanlah shalat) atau “yuqiimunash sahalat” (menegakkan shalat). Menariknya, ungkapan seperti ini juga digunakan Rasullah saw. Pada hadits mengenai pertemuannya dengan Malaikat Jibril, Rasullah bersabda: “watuqiimush shalata“ (HR. Muslim No.8) dan pada hadits mengenai pilar-pilar Islam bersabda: “waiqaamish shalati “. (HR. Bukahri No.8 dan HR. Muslim No.16)
Apa makna dari aqiimu atau yuqiimu di sini? Mengapa kok tidak langsung mengatakan shallu (bershalatlah) atau yushalluuna (mereka bershalat)? Para ahli tafsir bersepakat bahwa dalam kata aqiimu atau yuqiimuuna mengandung makna penegasan bahwa shalat itu harus ditegakkan secara sempurna: baik secara ritual dengan memenuhi syarat dan rukunnya, tanpa sedikitpun mengurangi atau menambah, maupun secara spiritual dengan melakukannya secara khusyuk seperti Rasulullah saw. melakukannya dengan penuh kekhusyukan. Masalah khusyu’ adalah pembahasan dimensi spiritual shalat yang akan kita bicarakan setelah ini.
C. Dimensi Spiritual Shalat
Mengikuti cara Rasulullah saw. shalat tidak cukup hanya dengan menyempurkan dimensi ritualnya saja, melainkan harus juga diikuti dengan menyempurnakan dimensi spritualnya. Ibarat jasad dengan ruh, memang seorang bisa hidup bila hanya memenuhi kebutuhan jasadnya, namun sungguh tidak sempurna bila ruhnya dibiarkan meronta-meronta tanpa dipenuhi kebutuhannya. Demikian juga shalat, memang secara fikih shalat kita sah bila memenuhi syarat dan ruku’nya secara ritual, tapi apa makna shalat Anda bila tidak diikuti dengan kekhusyukan. Perihal kekhusyukan ini Alquran telah menjelaskan,
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ (45)
“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, dan sesungguhnya shalat itu sangat berat kecuali bagi mereka yang khusyu.” (Al-Baqarah: 45)
Imam Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat ini, menyebutkan pendapat para ulama salaf mengenai makna khusyu’ dalam shalat: Mujahid mengatakan, itu suatu gambaran keimanan yang hakiki. Abul Aliyah menyebut, alkhasyi’in adalah orang yang dipenuhi rasa takut kepada Allah. Muqatil bin Hayyanperpendapat, alkhasyi’in itu orang yang penuh tawadhu’. Dhahhaq mengatakan, alkhasyi’en merupakan orang yang benar-benar tunduk penuh ketaatan dan ketakutan kepada Allah. (Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil azhim, Bairut, Darul fikr, 1986, vol. 1, h.133)
Dan pada dasarnya shalat seperti yang digambarkan Ustadz Sayyid Quthub– adalah hubungan antara hamba dan Tuhannya yang dapat menguatkan hati, membekali keyakinan untuk menghadapi segala kenyataan yang harus dilalui. Rasulullah saw. –kata Sayyid- setiap kali menghadapi persoalan, selalu segara melaksanakan shalat. (Sayyid Quthub, fii zhilalil Qur’an, Bairut, Darusy syuruuq, 1985, vol. 1, h. 69)
Dalam hal ini tentu shalat yang dimaksud bukan sekedar shalat, melainkan shalat yang benar-benar ditegakkan secara sempurna: memenuhi syarat dan rukunnya, lebih dari itu penuh dengan kekhusyukan. Karena hanya shalat yang seperti inilah yang akan benar-benar memberikan ketenangan yang hakiki pada ruhani, dan benar- benar melahirkan sikap moral yang tinggi, seperti yang dinyatakan dalam Alquran:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (45)
“dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar ”. (Al-Ankabut: 45)
Jelas, bahwa hanya shalat yang khusyu’ yang akan membimbing pelaksananya pada ketenangan dan kemuliaan perilaku. Oleh sebab itu para ulama terdahulu selalu mengajarkan bagimana kita menegakkan shalat dengan penuh kekhusyukan. Imam As-Samarqandi dalam bukunya tanbihul ghafiliin, menulis bab khusus dengan judul: Bab itmamush shalaati wal khusyu’u fiihaa (Bab menyempurkan dan khusyuk dalam shalat). Disebutkan dalam buku ini bahwa orang yang sembahyang banyak, tetapi orang yang menegakkan shalat secara sempurna sedikit. (As Samarqandi, Tanbihul ghafiliin, Bairut, Darul Kitab al’Araby, 2002, h. 293)
Imam As-Samarqandi benar. Kini kita menyaksikan orang-orang shalat di mana-mana. Tetapi, berapa dari mereka yang benar-benar menikmati buah shalatnya, menjaga diri dari perbuatan keji, perzinaan, korupsi dan lain sebagainya yang termasuk dalam kategori munkar.
D. Antara Ritual dan Spritual
Ketika Rasulullah saw. memerintahkan agar kita mengikuti shalat seperti yang beliau lakukan, itu maksudnya mengikuti secara sempurna: ritual dan spiritual. Ritual artinya menegakkan secara benar syarat dan rukunnya, spiritual artinya melaksanakannya dengan penuh keikhlsan, ketundukan dan kekhusyukan.
Kedua dimiensi itu adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Satu dimensi hilang, maka shalat kita tidak sempurna. Bila kita hanya mengutamakan yang spiritual saja, dengan mengabaikan yang ritual (seperti tidak mengikuti cara-cara shalat Rasulluah secara benar, menambahkan atau mengurangi, atau meniggalkannya sema sekali) itu tidak sah. Dengan bahasa lain, shalat yang ditambah dengan menerjemahkan setiap bacaannya ke dalam bahasa Indonesia, itu bukan shalat yang dicontohkan Rasullah. Maka, itu tidak disebut shalat, apapun alasan dan tujuannya.
Sebaliknya, bila yang kita utamakan hanya yang ritual saja dengan mengabaikan yang spiritual, boleh jadi shalat kita sah secara fikih. Tetapi, tidak akan membawa dampak apa-apa pada diri kita. Karena yang kita ambil hanya gerakan shalatnya saja. Sementara ruhani shalat itu kita campakkan begitu saja. Bahkan bila yang kita abaikan dari dimensi spiritual shalat itu adalah keikhlasan, akibatnya fatal. Shalat kita menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut bahasa shalat adalah berdoa, sedangkan menurut istilah shalat adalah suatu perbuatan serta perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan persyaratkan yang ada. Hukum sholat fardhu lima kali sehari adalah wajib bagi semua orang yang telah dewasa atau akil baligh serta normal / tidak gila. Shalat adalah ibadah yang terpenting dan utama dalam Islam. Dalam deretan rukun Islam Rasulullah saw. menyebutnya sebagai yang kedua setelah mengucapkan dua kalimah syahadat (syahadatain).
Ritual dalam sholat artinya menegakkan secara benar syarat dan rukunnya, spiritual artinya melaksanakannya dengan penuh keikhlsan, ketundukan dan kekhusyukan.
Kedua dimiensi itu adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Satu dimensi hilang, maka shalat kita tidak sempurna. Bila kita hanya mengutamakan yang spiritual saja, dengan mengabaikan yang ritual (seperti tidak mengikuti cara-cara shalat Rasulluah secara benar, menambahkan atau mengurangi, atau meniggalkannya sema sekali) itu tidak sah. Dengan bahasa lain, shalat yang ditambah dengan menerjemahkan setiap bacaannya ke dalam bahasa Indonesia, itu bukan shalat yang dicontohkan Rasullah. Maka, itu tidak disebut shalat, apapun alasan dan tujuannya.
B. Saran
Sebagai penutup Makalah ini kami selaku penyusun dengan kerendahan hati memohon segala bentuk masukan, saran, perbaikan atau ide-ide yang membangun. Dan dalam kanca perwujudan cinta kita pada islam dan ilmu pengetahuan maka saya hanya berpesan pada semua pembaca, khususnya semua keluarga, teman dan dosendosen yang ada di perguruan tinggi STAI BU untuk :
1. Senantiasa cinta pada islam dan syari’at-syari’at yang ada di dalamnya
2. Sedikit banyak mempelajari dan menela’ah bagaimana konsep sholat yang benar dengan memandang diri kita dalam dua dimensi yang ada.
Semoga makalah ini bisa memberi manfa’at pada kita semua. Aamiin Ya Robb al-‘alamin
DAFTAR PUSTAKA
sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/dua-dimensi-shalat/
Sumber: www.asysyariah.com
Ridwan M Ali. 2010. Kumpulan Ilmu Syari’at. Jombang : Kyai Mojo
Ishom Muhammad. Adab al-‘alim wa al-Muta’allim. Jombang : Tebuireng
Nawawi Muhammad. 1996. Nasehat Bagi Hamba Allah. Surabaya : Al-Hidayah
0 komentar:
Posting Komentar