RSS

MAKALAH FILSAFAT IBNU THUFAIL




KATA PENGANTAR

            Puja dan puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan  Yang Maha Esa karena atas izin dan kuasa –Nya  Kami dapat menyusun makalah  tentang Filsafat Ibnu Thufail.
            Semoga solawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yakni ad-dinu al- islam.
            Dengan terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada orang-orang disekitar kami yang selalu memberi motifasi kepada kami sehingga kami mau berusaha keras untuk menyelesaikan makalah  tentang ”FILSAFAT IBNU THUFAIL” ini. Semoga makalah yang kami buat ini dapat menjadikan manfaat dan tambahnya ilmu bagi siapapun yang membacanya..
            Kami sebagai pembuat makalah  ini sangat menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan untuk menyempurnakan Makalah ini sehingga Makalah ini menjadi Makalah yang sempurna, baik dan bermanfaat.



                                                            Jombang, 11 Maret 2012


Penulis












DAFTAR ISI
JUDUL          ..............................................................................................................    i
KATA PENGANTAR...............................................................................................    ii
DAFTAR ISI       .......................................................................................................    iii
BAB I       :     PENDAHULUAN..............................................................................    iv
BAB II      :     PEMBAHASAN FILSAFAT IBNU THUFAIL.............................    
                        A. Kehidupan Ibnu Thufail .................................................................    5
                        B. Pemikiran Ibnu Thufail ...................................................................    6
                        C. Filsafat Ibnu Thufail .......................................................................    7
                        D. Orisinilitas Filsafat Ibnu Thufail dan Hubungannya dengan Ahli
                             Fisafat Lainnya................................................................................    8

DAFTAR PUSTAKA

















BAB I
PENDAHULUAN

1)    Latar Belakang
Manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama, sebab agama adalah menjadi kebutuhan manusia dalam hidupnya, memang manusia dapat menangguhkannya boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya namun pada akhirnya sebelum ruh meninggalkan jasad ia akan merasakan kebutuhan itu.
Agama adalah hal yang tidak dapat diraso atau difikir dengan otak. Akan tetapi hal itu akan sangat dibutuhkan tatkala seseorang akan lebih memperdalam hakekat beragama itu sendiri. Dari itulah pentingnya ilmu filsafat itu.
Dalam sejarah umat manusia akan selalu dijumpai berbagai bentuk kepercayaan. Pencarian kepercayaan oleh manusia tidak akan pernah berhenti selama manusia ada.
Dengan ini maka jelaslah kiranya bagi kita bahwasanya manusia sesuai dengan fitrah yang dimilikinya memerlukan agama, sebab manusia dengan segala keterbatasannya sangat menyadari akan perlunya sandaran vertikal kepada tuhan sebagai dzat yang Maha Sempurna untuk mengembalikan segala permasalahan yang berada diluar jangkauannya. Dan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih mendalam maka dalam ulasan makalah ini akan kami bahas hakekat beragama dengan menguraikan filosoeinya, yaitu dalam hali ini dengan menelusuri Filosofi Tokoh Filsafat Ibnu Thufail.

2)   Rumusan Masalah
Dari Uraian Latar belakang d atas maka pada Rumusan masalah ini kami menggaris bawahi satu pokok bahasan, yaitu :
-          Bagaimana kah Pemikiran-pemikiran Ibnu Thufail, Filosofinya dan Latar belakang kehidupannya ?









BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT IBNU THUFAIL

1.     Kehidupan  Ibnu Thufail
Nama lengkap ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[1]
Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusastraan. Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H) Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta dan Tangier. Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun (558 H / 1163 M – 580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.[2]
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.
Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd), sehingga kita tidak dikenal orang banyak. Namun karyanya yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzhan (Si Hidup anak Si Sadar), yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzhan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah. Yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M).

2.     Pemikiran-Pemikiran Ibnu Thufail
Beberapa pemikiran/pendapat Ibnu Thufail, yaitu:
a)      Ada dua jalan untuk mengenal Tuhan, yaitu dengan jalan akal atau dengan jalan syariat. Kedua jalan tidaklah bertentangan, karena akhir daripada filsafat adalah mengenai Allah (marifatullah).
Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.[3]
·         Sifat Allah itu pada dua kelompok:
a.       Sifat-sifat yang menetapkan wujud Zat Allah, ilmu, kudrat dan hikmah. Sifat-sifat ini adalah Zat-Nya sendiri. Hal ini untuk meniadakan ta’addud al-qudama (berbilangnya yang qadim) sebagaimana paham mu’tazilah.
b.      Sifat salab, yakni sifat-sifat yang menafikan paham kebendaan dari Zat Allah. Dengan demikian, Allah suci dari kaitan dengan kebendaan.

b)      Filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan Wahyu. Allah tidak hanya dapat diketahui dengan Wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal.
Agama penuh dengan perbandingan, persamaan dan persepsi-persepsi antropomorfosis, sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak. Filsafat merupakan bagian dari kebenaran esoteris, yang menafsirkan lambang-lambang agama agar diperoleh pengertian-pengertian yang hakiki.
Walaupun Ibnu Thufail menyadari tingkatan akal manusia itu berbeda-beda Roman Hayy Ibn Yaqzhan: “Hayy pun menjadi tahu akan tingkatan-tingkatan manusia. Ia dapati” tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada diri mereka (masing-masing). “mereka menjadikan hawa nafsu mereka sebagai Ilah mereka. Dan mereka sama halnya seperti hewan yang tak berpikir.[4]
c)      Qadimnya dunia (bumi dan alam semesta alam), hal ini bertolak belakang dengan pendapat Al-Ghazali.

3.     Filsafat Ibnu Thufail
Filsafat Ibnu Thufail secara ringkas sesungguhnya ingin menyatakan bahwa seorang manusia yang mempunyai pikiran yang cerdas dan memiliki kesiapan secara natural memungkinkan untuk sampai kepada suatu pengetahuan secara gradual dari suatu yang indrawi kepada suatu yang rasional atau dari suatu yang tak di ketahui (majhul ) menuju suatu yang di ketahui (ma’lum) sampai kemudian menuju ke pembentukan pengetahuan yang bersifat metafisika , dan kemungkinan itu tetap ada sekalipun ia hidup di habitat yang terisolir dari manusia tanpa bantuan bahasa, tradisi, agama dan budaya yang mewarnainya , dan itulah tema yang ingin di tunjukkan dalam kehidupan hay bin yaqdhan dalam keterisolasirannya yang total sejak kelahirannya , ini berbeda dengan Ibnu Sina dan Ibnu Bajah yang berpendapat bahwa pemikiran tentang hal-hal metafisika merupakan hasil dari pembelajaran, study, dan inteletualitas yang berarti mensyaratkan bagi orang yang mencapai pengetahuan tersebut untuk hidup dalam habitat manusia.
Selain itu sesungguhnya Ibnu Thufail dalam karyanya tersebut ingin menawarkan apa yang dalam diskursus filsafat disebut sebagai epistemologi, epistemologi sendiri sebagaimana tersebut dalam wikipedia berasal dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan di bahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, sumber-sumbernya serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan yang secara singkat berarti juga teori pengetahuan. adapun di sini penulis hanya akan mencoba memfokuskan diri pada sumber-sumber pengetahuan yang merupakan tema sentral dalam roman filsafat Ibnu Thufail.
Roman filsafat Ibnu Thufail ingin menjelaskan bahwa sumber-sumber pengetahuan yang hendak di capai seorang manusia setidaknya ada tiga meliputi indrawi, akal atau rasio dan intuisi( hati) , adapun yang pertama yaitu indrawi meliputi panca indra yang lima yaitu penglihatan, pendengaran, perasam pencium dan peraba yang merupakan alat untuk mengenali lima dimensi obyek yaitu obyek-obyek fisik yang terlihat, suara, rasa , bau-bauan dan obyek yang tersentuh sekalipun begitu indrawi masih mempunyai kelemahan karena ia terkadang tidak bekerja secara sempurna maka di sinilah di butuhkan sumber pengetahuan yang kedua yaitu akal atau rasio yang dengan daya penalarannya mampu mengabstraksikan suatu obyek yang karena itu ia mampu mengetahui seluruh profil dari suatu obyek ( mungkin kisah tentang tiga orang buta yang termasyhur itu dapat membantu anda memahami konsep ini ) selain ia juga mampu menangkap esensi dari obyek yang di pahaminya dan di amati oleh indrawi dengan demikian akal atau rasio bersifat melengkapi indrawi.akan tetapi akalpun masih bersifat terbatas misalnya akal tidak mampu mengerti mengapa orang yang sedang jatuh cinta akan sangat berbeda dalam melihat realitas kenapa amr qois ketika memandang rumah laila akan memiliki makna yang berbeda di banding orang lain di sinilah di butuhkan sumber pengetahuan yang lain yang ketiga adalah intuisi ( hati ) yang menurut Ibnu Thufail mampu menangkap esensi dari pengetahuan sejati yang merupakan wilayah metafisika dengan cara penyucian jiwa (tazkiah annafs/ riyadhah ruhiyah) yang sering di capai oleh para ‘urafa dan bentuk tertinggi dari pencapaian intusi ini adalah wahyu yang di khususkan sebagai status kenabian..
Di roman filsafatnya Ibnu Thufail juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata memiliki dua wajah internal dan eksternal yang sebenarnya sama saja . dan kedua wajah tersebut berkaitan dengan dikhotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan khowash yang mampu mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus filosofis maupun pencerahan mistik ( kasyaf ) dan kalangan awam yang tak mampu mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus wahyu keagamaan.
Akhirnya marilah kita mempertimbangkan bagi adanya epistomologi islam yang lebih holistic di tengah-tengah paham rasionalisme, empirisisme, dan intusisme yang hanya melihat pengetahuan dari satu wajah, di tengah tengah intelektualitas yang kering spiritulitas atau spiritualitas yang jauh dari intelektualitas.

4.     Orisinalitas Ibnu Thufail dan hubungannya dengan para filosuf
Banyak kalangan terpelajar yang melakukan kajian terhadap Ibnu Thufail berasumsi bahwa apa yang telah di capai oleh Ibnu Thufail dalam pemikiran filsafat mempunyai keterkaitan dengan para filosuf pendahulunya, sebagian berasumsi bahwa ia terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Bajah, sebagian lagi beranggapan bahwa pemikirannya memiliki keterpengaruan terhadap filsafat Al Farobi, sedang sebagian yang lain memiliki kecurigaan kuat bahwa Ibnu Thufail merupakan murid otentik terhadap pemikiran-pemikiran Ibnu Sina bahkan menduga bahwa sesungguhnya ia telah mengambil “kalau tidak bisa di katakan memplagiat” segala sesuatunya dari Ibnu Sina sampai kepada nama tokoh-tokoh dan karakter dalam roman filsafatnya, sedangkan yang lain ada juga yang berpendapat bahwa ia terpengaruh kepada Al Ghozali sampai kepada pendapat yang mengatakan tentang keterkaitan pemikirannya terhadap pengaruh filsafat Hindia, Persia dan Yunani, tetapi kalau kita teliti lebih dalam karyanya akan kita dapati bahwa sesungguhnya Ibnu Thufail dalam pemikiran fisafatnya merupakan pribadi yang independent dan memiliki orisinalitas dan keistimewaan tersendiri, untuk melepaskan Ibnu Thufail dari tuduhan para kritikus yang menuduh Ibnu Thufail telah melakukan pengekoran terhadap para filosuf pendahulunya Sheikh Al azhar terdahulu Dr. Abdul halim mahmud dalam bukunya Ibnu Thufail Wa Falsafatuhu ( Ibnu Thufail dan Filsafatnya ) telah memberikan penjelasan yang cukup argumentatif yang dalam hal ini akan penulis beberkan secara ringkas sebagai berikut :
·         Adapun bukti yang memperlihatkan indepedensi Ibnu Thufail dari pengaruh Al Farobi dapat kita baca dari sikap Ibnu Thufail sendiri terhadap Al Farobi yang mana ia telah memproklamirkan secara terang-terangan bahwa pemikiran yang terkandung dalam karya-karya Al Farobi penuh dengan skeptisisme (kastrah assyukuuk) kemudian memberikan contoh dengan pendapat Al Farobi yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya terdapat dalam dunia material yang kita tempati sekarang ini ( addaar addunya ) lalu mengkritiknya dengan ungkapannya “ Sungguh pendapat ini telah mendorong sikap pesimis seluruh manusia dari rahmat Tuhan dan telah menempatkan orang yang memiliki keutamaan dan seorang pendosa dalam satu level dengan mengatakan bahwa seluruhnya akan kembali kepada ketiadaan ( ex nihilo ) dan pendapat yang sedemikian itu merupakan kesalahan fatal yang tak dapat di tolerir”. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Ibnu Thufail telah mengambil sikap antipati terhadap pemikiran al farobi dan telah menolaknya secara global jika tidak bisa di katakan secara parsial, maka merupakan pernyataan yang tidak logis untuk mengatakan bahwa pemikiran Ibnu Thufail merupakan kepanjangan tangan dari pemikiran Al Farobi sekalipun ia telah membaca karya-karya Al Farobi maka itu tidak lain merupakan pembacaan kritis ( qiroah annaqidh ).
·         Adapun Ibnu Bajah ia bukan termasuk penduduk Andalusia dan Ibnu Thufail telah mengklaim bahwa Ibnu Bajah bukanlah orang yang lebih cerdas dan lebih mempunyai pemikiran cemerlang di banding dirinya karena ia terlalu di sibukkan oleh dunia dengan memperbanyak dan mengumpulkan harta benda sampai dengan kematiannya dan ini bersebarangan dengan upaya untuk sampai kepada pengetahuan level tertinggi yang dalam redaksi Ibnu Thufail di sebut sebagai level orang-orang yang memperoleh kebenaran ( maraatib uuli asshidq ). Karena itu Ibnu Thufail menyebut Ibnu Bajah hanya sampai pada fase filosuf pemikir saja (Ahl Annadhar ) yang bisa di capai dengan pengetahuan aksiomatik dan penalaran rasio dan itu hanya merupakan fase pertama ( al marhalah al ula ) bukan merupakan fase tertinggi yang di sebut Ibnu Thufail sebagai fase Ahl al wilayah yang merupakan puncak cita-cita Ibnu Thufail sekalipun ia juga berpendapat bahwa fase aksiomatik-rasional bisa mengantarkan pada kebenaran argumentasi namun ia menyebutnya sebagai fase permulaan saja sampai kemudian ia menolak rasio sebagai dasar pengetahuan sejati.
·         Adapun tentang Al ghazali Ibnu Thufail berpendapat dengan pernyataannya “ tak di ragukan lagi bahwa Syeikh Abu hamid ( Al ghazali ) termasuk orang yang telah merasakan puncak kebahagian dan telah sampai kepada fase termulia dan kudus ( fase ulu asshidq atau pengetahuan sejati dalam konteks nilai pengetahuan ) akan tetapi terlepas dari apresiasi Ibnu Thufail terhadap Al ghazali kalau kita telaah dan bandingkan lebih jauh antara pemikiran filsafat Ibnu Thufail dan Al ghazali akan kita dapati perbedaan yang cukup mencolok terutama sikap mereka terhadap fase aksiomatik-rasional. Di satu sisi al ghazali menolak dengan tajam fase tersebut dan menganggap bahwa penalaran rasio tidak dapat mengantarkan seseorang kepada hakekat dan keyakinan, dan pernyataan Ibnu Thufail dalam roman filsafatnya terutama ketika menggambarkan tentang fase pertama ( aksiomatik-rasional ) sangat kontra produktif dengan pendapat Al ghazali tersebut karena di situ Ibnu Thufail masih mengakui eksistensi penalaran rasio sebagai metode mencapai pengetahuan yang merupakan fase pertama yang harus di lewati untuk mencapai pengetahuan sejati akan tetapi lebih dari itu Ibnu Thufail masih mengakui Al ghazali sebagai orang yang telah mencapai esensi pengetahuan yang luhur









DAFTAR PUSTAKA

Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007.
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia. 1997
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Ibnu Thufail, Hayy Ibn Yaqzhan Roman Filsafat tentang Perjumpaan Nalar dengan Tuhan. Diterjemahkan oleh: Dahyal Afkal, Bekasi: Menara, 2006.
.


[1] Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007. h. 205
[2] Ibid, h. 206
[3] Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, h. 81

[4] Ibnu Thufail, Hayy Ibn Yaqzhan Roman Filsafat tentang Perjumpaan Nalar dengan Tuhan. Diterjemahkan oleh: Dahyal Afkal, Bekasi: Menara, 2006, h. 1995

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar