AL-JARHU WAT TA’DIL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Aljarhu Wat Ta’dil
Secara bahasa al jarhu ialah luka atau bekas pada tubuh disebabkan oleh semisal pedang atau yang lain, namun yang dikehendaki disini ialah luka secara maknawi seperti akibat cacian atau tuduhan.
Al Jarhu dalam istilah para ahli hadits ialah menyifati seorang perowi dengan sifat-sifat yang menjadikan riwayatnya tidak diterima.
At Ta’dil secara bahasa ialah menyamakan sesuatu atau meluruskannya. Pengertian at Ta’dil secara istilah merupakan kebalikan dari al Jarh, yakni menyifati seorang perowi dengan sifat-sifat yang menjadikan riwayatnya dapat diterima dan diamalkan .
Dengan demikian ilmu al Jarhu wa Ta’dil merupakan bidang ilmu yang membahas tentang sifat-sifat perowi hadits dari segi bisa diterima dan tidaknya. Ia membicarakan tentag sisi negatif dan positif perowi hadits secara mendetail, apakah perowi yang dimaksud tergolong tsiqoh, adil, dhobith, atau sebaliknya. Sampai dimana perowi itu dikatakan berbohong , lalai, pelupa, dan sebagainya. Ilmu ini juga lazim disebut dengan ilmu “Kritik Sanad”, karena perannya dalam memberi kritikan pada para perowi hadits atau memberikan pujian pada mereka.
Oleh sebab itu para ulama’ hadits memberi perhatian serius akan ilmu ini dan mencurahkan segenap kemampuan intelektual mereka untuk dapat menguasai. Mereka pun bersepakat akan legalitas ilmu ini bahkan tentang kewajiban menerima, mengingat ia memiliki andil besar dalam menjaga syari’at islam. Diantara landasan syara’ yang dijadikan dasar atas penerapan al Jarhu wat Ta’dil ialah Firman Allah swt:
يَا آَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيّنُوْا إِنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ
Artinya: “Hai Orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah pada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (al Hujarot : 6)
Secara tegas ayat ini menunjukkan tentang wajibnya tabayyun (memeriksa dan meneliti) berita dari orang fasiq, dan tidak menerima begitu saja.
Hadits yang dipertimbangkan sebagai dasar al Jarhu antara lain ialah riwayat Aisyah ra berupa :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَآهُ قَالَ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيْرَةِ وَ بِئْسَ ابْنُ الْعَشِيْرَةِ
Artinya: “Dari Aisyah berkata : “Bahwa seorang laki-laki pernah meminta izin kepada Nabi saw, maka ketika melihatya, beliau bersabda : “Sejelek-jelek orang adalah saudara golongan dan sejelek-jelek orang ialah anak laki-laki golongan itu” .
B. Syarat-Syarat Pelaku Al-Jarhu Wat Ta’dil
Dalam upaya menguak karakteristik para periwayat hadits, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak melakukan jarhu dan ta’dil. Ini dimaksudkan agar dapat bersifat obyektif dalam menilai, dan agar orang tidak mudah memberi penilaian dengan sekehendak hatinya. Antara lain :
1. Ia haruslah orang yang adil, dhobith, serta mengetahui sebab-sebab jarhu wat ta’dil, sehingga penilaian yang ia tetapkan tidak berujung pada kekeliruan atau ceroboh, yakni menilai adil (ta’dil) orang yang sebenarnya tidak adil, atau mencela (jarhu) orang yang tidak semestinya.
2. Ia haruslah orang yang alim, bertaqwa, dan wira’I, serta bebas dari unsur-unsur fanatisme atau hasrat nafsu. Dengan demikian ia tidak menjadi condong pada golongan tertentu dan berfikiran negative pada golongan lain. Ulama’ yang melakukan jarhu atau ta’dil tidak ubahnya seperti seorang qodhi yang harus adil dan selalu berpihak pada fakta dan kebenaran, serta hanya menghukumi dengan sesuatu yang diridhoi oleh Allah swt dan Rosul-Nya .
C. Tingkatan-Tigkatan Al Jarhu Wat Ta’dil
Paraperiwayat hadis tidaklah memiliki tingkat yang sama dari segi hafalan, pengetahuan, atau ketepatan menyampaikan hadisnya. Diantara mereka ada yang hafalanya sempurna, ada yang kurang sempurna, ada yang terkadang kurang tepat, ada pula yang sering tidak tepat atau salah dalam meyampaikan hadis, meskipun mereka termasuk orang yang adil dan amanah. Disamping itu ada juga yang berusaha menggambungkan diri dalam golongan muhadissin, lalu sengaja membuat kedustaan didalamnya, dimana Allah swe kemudian menyingkap karakteristik mereka melalui tangan para Ulama hadis yang ahli dalam bidang itu. Dari situ, para ulama hadis lantas menetapkan beberapa tingkatan dalam jarh wa ta’dil serta lafadz-lafadz yang menunjukan pada setiap tingkatan.
Kritikus hadis ternama, Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya”al jarh wa ta’dil” awalnya hanya membagi tingkatan jarh dan ta’dil ini masing-masing kedalam 4 (empat) tingkatan, beliau sertakan pula penjelasan hukum dari masing-masing tingkatan itu. Kemudian para ulama hadis setelah beliau menambahkan 2(dua) tingkatan mulai dari yang berderajat paling tinggi:
A. Tingkatan at-Ta;dil
1. Tingkatan pertama
Yakni penilaian dengan menggunakan bentuk superlative(mibalaghoh) dalam pen-tstiqqoh-annya, atau ungkapan yang menggunakan wazan af’ala seprti seorang perowi disifati dengan “ التثبتي فيالمنتهي الئهئ فلان”) (fulan, kepadanyalah puncak keteguhan), atau “الناس اوثق فلان “”(fulan ialah manusia paling terpercaya) atau الناس اضبط”( manusia paling kuat hafalanya dan ingatannya) atau” نظير له ليس”(ia tidak ada tandingannya) dan yang semisal. Ini merupakan bentuk pen-ta’dila-an yang berderajat paling tinggi.
2. Tingkatan kedua
Yakni penilaian dengan menyebutkan sifat yang menguatkan le tsiqqohan-nya, ke-‘adila-anya, atau ketepatan periwayatanya, baik dengan menggunakan lafadz atau makana,m seperti “ ثقة ثقة فلان” (fulan orang yang sangat terpercaya),atau ثبة ثقة (terpercaya lagi teguh)” حافظ ثقة”(terpercaya lagi hafidz), dan sebagainya.
3. Tingkatan ketiga
Yakni penilaian yang menunjukan adanya sifat tsiqoh tanpa disertai dengan penguatan seperti di atas, misalanmya, “ ثقة فلان” (fulan orang terpercaya) atau” ثبت” (teguh) atau”حجة” (hafidz) atau (hujjah), dan yang serupa.
4. Tingkatan yang keempat
Yakni penilaian yang menunjukan adanya sifat adil tanpa adanya isyarat ketelitian atau kekuatan hafalan, seperti bila periwayat hadis disifati dengan “ صدوق “(jujur) atau “ الصدق محله “(ia tempatnya kejujuran) atau” ماءمون “(dipercaya), atau “ به لاباءس “ (tidak mengapa dengannya).
Istilah” la ba’sa bihi” masuk dalam tingkatan ini menurut selain ibnu Ma’in. sebab jika ibnu ma’in menilai orang perowi dengan “la ba’sa bihi maka yang dimaksudkan ialah perowi itu tsiqqoh. Ini karena, beliau dikenal sebagai ulama yang sangat ketat dalam menilai (mutasyadid), sehingga lafadz yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup menunjukan ke-tsiqqoh-an perowi tersebut.
5. Tingkatan kelima
Yakni penilaian tidak menunjukan pen-tsiqqoh-an ataupun celaaan (tarjih), seperti “ شيخ فلان “(fulan seorang syaikh) atau” روي سالنا عنه“(orang yang meriwayatkan hadis darinya) dan yang semisal.
6. Tingkatan keenam
Yakni penilaian yang mendekati dengan celaan (jarh), seprti “لح صا لحديثا ” (yang baik hadisnya ) atau “ حديثه يكتب” (ditulis hadisnya) dan yang semisal.
Catatan
Untuk tingkatan pertama (no. 1,2 dan 3) hukumnya dapat dibuat sebagai hujjah, meskipun sebagian diabtara lebih kuat daari yang lain, yakni tingkatan pertama tentu lebih kuat dari yang kecua, begitu pula tingkatan kedua lebih kuat dari yang ketiga.
Utnuk tingkatan keempat dan kelima tidak bisa dijadikan hujjah, tapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji ke-dhibith-an mereka dengan membandingkan hadis-hadis mereka dengan hadis periwayat tsiqoh lain. Bila hadis mereka didapati sesuai, maka bisadijadikan hujjah, dan jika tidak sesuai maka ditolak.
Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisadijadikan hujjah, teetapi haggis mereka bisa ditulis untuk dijadikan pertimbangan, bukan untuk pengujian karena mereka tidak dhobith.
D. Tingkatan al jarh
1. Tingkatan pertama
Yakni penilaian yang menunjukan keterlaluan dalam berdusta, dan ini merupakan tingkatan paling buruk, seperti bila periwayat hadist disifati dengan” الناس اكدب فلان “ (fulan orang yang paling sombong) atau “الكدب في المنتهي اليه “(ia adalah puncak kedustaaan) atau”الكب ركن هو“(dia adalah rukun kedustaan), dan sebagainya.
2. Tingkatan kedua
Yakni penilaian yang menunjukan seorang perowi berdusta atau memalsu hadis dan sebagainya, seperti”كداب فلان“(fulan tukang bohong) atau”دجال“(dajjal /pembohong), atau “عوضا“(dia memalsukan hadis)atau dengan redaksi”يكدب” (dia berbohong)“يضع”(dia memalsukan).
3. Tingkatan ketiga
Tingkatan penilai yang menunjukan tuduhan pembohong atau pemalsu hadis seperti: ” بالكدب متهم فلان“ (fulan di tuduh berdusta), atau” بالوضع متهم “ (di tuduh memalsukan hadis) atau “الحديث يسرق“(mencuri hadis) atau”ساقة“(gugur) atau” مترك“(ditinggalkan), atau “بثقة ليس “(bukan orang yang tsiqoh).
4. Tingkatan keempat
Yakni penilaian yang menunjukan lemah sekali dan tidak boleh ditulis hadisnya, seperti perowi disifati”جدا ضعيففلان“(fulan lemah sekali) atau “ حديث يكتبلا“(tidak dapat ditulis hadisnya) atau” عنه الروية تحل لا“(tidak halal periwayatannya)
5. Tingkatan kelima
Yakni penilaian yang menunjukan secara tegas bahawa seorang perowi tidak dapat dijadikan hujjah, atau dinilai lemah, atau buruk hafalannya dan yang serupa, seperti” به يحتج لافلان “(fulan tidak bisa dibuat hujjah), atau “ بقوي ليس“(tidak kuat), atau “ضعفه“(para ulama melemahkannya), atau “كيرمنا له“(padanya banyak pengingkaran), dan yang semisal.
6. Tingkatan keenam
Yakni penilaian yang menunjukan adanya kelemahan, lunak atau rendah seprti apabila seorang perowi disifati dengan “ الحديث لين فلان“(fulan lemah hadistnya), atau “مقال فيه“ (dirinya diperbincangkan), atau ”ضعف فيه“(padanya ada kelemahan) dan semisal.
Ini merupakan bentuk jarh yang paling ringan, Ibnu Abi Hatim berkata :apabila para ulama menilai seorang dengan “layyinul hadist”( hadisnya lemah), maka ia termasuk orang yang masih bisa ditulis hadistnya dan dapat digunakan sebagai I’tibar. Sementara ad Daroquthni, salah satu tokoh yang menyusun tingkatan ini mengatakan:” jika seorang dinyatakan “layyin” maka ia bukan termasuk perowi gugur yang harus ditinggalkan hadistnya, melainkan ia dinilai cacat dengan sesuatu yang tidak sampai menggugurkan sifat ‘adilnya.
Catatan
Untuk empat pertama(No. 1-4), hokum hadis yang mereka riwayatkan tidak dapat dijadikan hujjah, tidak boleh ditulis dan tidak dianggap sah sama sekali.
Sedangkan untuk tingkat kelima dan keeanm, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perowi yang tergabung dalam tingkatan iyu, juga tidak bisa dijadikan hujjah, akan tetapi boleh ditulis untuk sekedar dubuat i’tibar. Ini…”atau” Fulan melaksanakan ini dan ini, dan ini….”demikian seterusnya.
Sedangkan jarh tidak bisa diterima kecuali biladisebutkan sebab-sebabnya (mufassir). Ini karena, menyebutkan sesuatu yang menyebabkan sseorang dinilai cacat(jarh) tidaklah sulit.
dismping itu, penilaian satu orang dengan yang lain kadang berbeda dalam menentukan sebab-sebab jarh, sehingga bisa saja seorang perowi dinilai cacat (jarh) oleh sementara orang, padahal hakikatnya tidak demikian. Oleh karena itu, dalam melakukan jarh harus dijelaskan sebab-sebabnya, agar bisa dilihat apakah jarh-nya itu benar atau tidak.
Ibnu sholah mengemukakakn bahwa hal ini sudah jelas dan telah ditetapkan dalam fiqh dan ushulnya,. Sementara Khotib al Baghdadi menuturkan bahwa pendapat ini adlah pendapat para imam yang hafizh dan kritikus hadis, seperti imam Bukhori Muslim dan yang lain. Oleh karena itu, Imam Bukhori tetap berhujjah (meriwayatkan hadis) dari segolongan perowi yang sebelumnya telah di jarh oelh selain beliau, seperti Ikrimah maula Ibnu abbas r.a., Ismail bin Abi Uwais, Ashim bin Ali, Amr bin Marzuq dan sebagainya. Imam Muslim juga berhujjah pada Muslim bin Suwaid dan para perowi lain yang sebelumnya masyhur dicacat, begitu pula dengan yang dilakukan oleh Imam Abu Dawud. Ini semua menunjukan bahwa para Imam hadis tersebut berpedoman belum tetapnya sebuah jarh bila tidak dejelaskan sebab-sebabnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang menjadi ketentuan diatas, kadang bertentangan dengan apa yang ada dalam banyak kitab al jarh wa ta’dil, dimana dalam menilai seorang perowi kebanyakan dari kitab-kitab itu tidak menyebutkan sebab-sebabnya. Disana hanya disebutkan misalnya”Fulan dhi’ifun”(fulan lemah)m atau fulanun laisa bisyai’in (fulan bukan apa-apa)dan sebagainya. Sehingga syarat yang harus dijelaskan sebab-sebab jarh menjadi terabaikan. Sementara itu di sisi lain bila kita berpegang pada keharusan menyebut sebab-sebab jarh seperti diatas akan berakibat pada tidakterpakainya kitab-kitab tersebut dan menutup pintu jarh lebih banyak. Ini merupakan satu dari beberapa masalh rumit dalam bab ini yang membutuhkan ketelitian para pengkajinya.
Jawabanya adalah bahwa yang demikian itu meskipun tidak kita pegang dalam upaya menetapkan jarh dan menghukuminya, namun kita berguna untuk menyetakan sikap tawaqquf (menahan diri) dari menerima riwayat hadis orang yang di jarh. Dengan dasar bahwa hal itu menjadikan kita ragu dengan keraguan yang kuat sehingga hadisnya wajib di mauqufkan terlebih dahulu. Kemudian jika setelah kita teliti ternyata ia termasuk dari golongan perowi tsiqoh maka hadisnya dapat diteimam jika sebaliknya maka hadisnya tertolak. Inilah jawaban yang disampaikan Ibnu Sholah dan banyak disetujui oleh ulama lain.
Pertentangan Antara jarh dan ta’dil
Jika pada diri seorang perowi terdapat dua penilaian yang bertentangan (ta’arudh), yakni sebagaian ulama menta’dilkan dan ulama lain menjarh-nya, maka dalam hal ini jarh lebih didahulukan daripada ta’dil, meskipun jumlah yang menta’dil itu lebih banyak. Logikanya ialah, terdapat pengetahuan lebih dari pada orang yang melakukan jarh, sebab orang yang menta’dil memberitahukan sifat-sifat yang dhohir dari perowi yang sinilaim sementara orang yang menjarh menunjukan sidfat-sifat yang tidak tampak dan samar bagi orang yang menta’dil. Inilah pendapat yang shihih dan dipegang oleh jumhur ahli hadis.
Akan tetapi, ketentuan diatas tidaklah berlaku mutlak, artinya jarh tidak selalu diunggulkan atas ta’dil dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, melainkan dibatasi dengan beberapa catatan, antara lain:
Jarh harus dijelaskan sebab-sebabnya, dan telah memenuhi semua syarat yang telah disebutkan didepan.
Tidak ada penafian dari orang yang menta’dil mengenai jarh yang ada, dengan menunjukan buktu-bukti yang meyakinkan bahwa jarh tersebut tidak benar.
Tidak ada klarifikasi dari penta’dil mengenai jarh dimaksud, misalnya ia mengatakan “aku tahu sebab yang menjadikan rowi berangkutan di jarh, tetapi ia telah bertobat dan telah bertobat dan telah meperbaikinya.
Dengan demikian, orang yang hendak melakukan jarh atau ta’dil, seyogyanya tidak mencukupkan diri dengan hanya berpegang pada kitab-kitab mukhtasor(ringkasan) tentang nama-nama rijal hadis, melainkan juga merujuk pada kitab-kitab besar yang mencantumkan qoul-qoil para imam. Pelaku jarh haruslah memiliki rasa takut kepada Allah swt, membersihkan agamanya, dan meneliti betul sifat-sifat perowi yang akan dihukumi. Sebab di sana kadang ada unsur fanatisme mahdzab, permusuhan atau hasud, yang kadang mengakibatkan munculnya sikap berlebihan dalam melakukan jarh.
At Taj As Subki dalam thobaqot-nya mengatakan:” hati hati lah kamu terhadap pemahaman kaidah ulama berupa ” jarh itu itu didahulukan atas ta’dil “yang dipahami secara mutlak. Tetapi yang benar adalah orang yang telah tetap sifat ke Imam-man serta ke ta’dil-annya, telah banyak memuji dan langka yang mencacatnya, serta disana terdapat tanda yang menunjukan sebab-sebab jarhnya, seperti fanatic mahdzab atau yang lain, maka jarh terhadap orang tersebut tidak perlu dihiraukan.
Lebih lanjut lagi beliau mengatakan : telah kami beritahukan padamu bahwa penilaian negative dari perilaku jarh tidak bisa diterima, meskipun ia menyebutkan sebabnya- pada yang ketaatannya mengalahkan kemaksiatanya, para pemujinya mengalahkan penghinanyam dan orang yang menilai bersih mengalahkan pencelanya, bilamana disana didapati qorinah yang masuk akal bahwa penilaian seperti itu termotifasi oleh fanatic mahdzab atau rivalitas duniawi seperti yang terjadi antara para pemikir atau yang lain. Dengan demikian tidak perlu dihiraukan penilaian ats Tsauri dan yang lain terhadap Abu Hanifah, atau Ibnu Ma’in terhadap asy Syafi’I atau an Nasa’I terhadap Ahmad bin Gholeh dan lain sebagainya. Apabila kita dahulukan jarh secara mutlak maka tidak ada satu pun dari para imam yang selamat, sebab tidak ada seorang imam pun kecuali ia pernah dicela oleh para pencela dan dirusak oleh para perusak.
Jumlah Orang Yang Dipandang Cukup Melakukan Jarh Atau Ta’dil
Para ulama juga masih belum bersepakat mengenai apakah dalam jarh wa ta’dil sudah dianggap cukup penialaian satu orang ataukah disyaratkan minimal dua orang.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa jarh dan ta’dil belum bisa ditetapkan kecuali telah ada minimal dua orang yang melakukan penilaian, mereka menganalogikanya dengan masalah persaksian (syahadah). Tetapi versi yang shohih, sebgaimana dipilih oleh Abu Bakar al Khotib dan yang lain menyatakan bahwa jarh dan ta’dil sudah dapat diterima meskipun hanya dengan pernyataan satu orang. Argumen yang mereka kemukakakn adalah bahwa jumlah perowi tidak menjadi persyaratan bagi diterimanya sebuah hadis. Dengan demikianm dalam jarh wa ta’dilpun hal itu juga tidak di syaratkanm berbeda denbgan masalah persaksian.
Perbedaan Metode Ulama Jarh Dan Ta’dil
Metode para nuqqod (kritikus) dalam melakukan jarh dan ta’dil tidaklah sama, pendekatan yang mereka gunakan dalam menilai perowi, ada yang tergolong terlalu ketat(mutasyadid), ada yang sangat mempermudah (mutasahil) dan ada yang terbilang tengah-tengah atau berimbang (mutawassith).
Ulama yang termasuk imbang (mutawasith) dalam menghukumi seorang perowi, itulah yang dapat diterima penilaian jarh dan ta’dilnya, karena lebih dekat pada kebenaran. Sementara ulama yang dikenal terlalu ketat (mutasyahiddid) ataupun sangat memepermudah (muttasyahil) maka penilaianya tidak bisa langsung diterima kecuali setelah dikaji dan diteliti terlebih dahulu, serta telah diketahui dasar yang dijadikan landasan kritiknya, atau membandingkan dengan penilaian ulama lain.
Imam adz Dzahabi- sebagaimana dikutip oleh as Sarkowi dalam “Fathul mughist” membagi ulama kritikus menjadi 3 (tiga)kategori:
Pertama adalah ulama yang sangat keras dan terlalu ketat dalam melakukan rajh dan ta’dil. Tokoh seperti ini jika menilai tsiqoh seorang perowi maka harus diteliti terlebih dahulu apakah tokoh-tokoh hadis lain juga menilainnya sama. Jika penilaiannya sama dan tidak ada tokoh ahli lain yang men tsiqoh-kan, maka perowi tersebut dinyatakan dhoif. Tapi bila ada ulama lain yang yang menilai tsiqoh maka dalam hal ini ulama hadis mengatakan”tidak dapat diterima suatu jarh kecuali telah dijelaskan sebab-sebabnya”, dalam arti belum dianggap cukup menilai cukup penilaian Ibnu Ma’in misalnya, yang mengatakan dho’if pada periowi tanpa menjelaskan sebab yang enjadaikan ia dinilai dhoif, sementara Imam Bukhori atau yang lain menilai tsiqoh perowi dimaksud. Hal seperti ini bias berdampak pada ketidaksamaan dalam menilai shohih dan dhoifnya hadis dari perowi tersebut.
Sebab itulah adz Dzahabi-selaku tokoh peniliti yang ahli dalm bidang rijalul hadis-mengatakan :tidak terjadi kesepakatan dua orang ulama hadis untuk men-tsiqoh-kan seorang rowi yang dhoif atau mendho’if-kan seorang rowi yang tsiqoh” karena itu pula mahdzab an Nasa’i dalam hal ini ia tidak harus ditinggalkan hadis seorang rowi sebelum semua ulama hadis sepakat ntuk meninggalkannya.
Kedua, ulama yang dikenal terlalu mempermudah (mutasahhil) dalam menilai, seperti at Tirmidzi dakn al Hakim, atau seperti Ibnu Hazm kata as Sakhowi. Penilai jarh dan ta’dil dari tokoh-tokoh seperti ini tidak bias diambil begitu saja, melainkan terlebih dahulu harus dikaji dan di teliti serta melihat penilaian para imam hadis lain yang ahli.
Ketiga, ialah ulama yang menilaiannya tengah-tengah atau seimbang seperti Ahmad bin Hambal, ad Daroquthniy, atau Ibnu Adiy.
Abul Hasanat MUhammas Hayyi al Laknawi (w. 1304 H. )dalam ar Rof’u Wa Takmil menjelaskan: Wajib bagimu utnuk tidak tergesa-gesa menhukumi jarh pada seorang perowi semata-mata karena ada penilaian sebagian ahli jarh dan ta’dil., melainkan kamu harus meneliti kebenarannya, karena masalh ini memiliki resiko dan bahaya. Kamu tidak boleh selalu menerima setiap penilaian orang yang men jarh terhadap setiap perowi, meskipun orang yang melakukan jarh itu adalah seorang imam atau ulama yang sudah masyhur. Karena sering kali didapati hal-hal yang mencegah penerimaan sebuah jarh. Hal seperti ini banyak sekali bentuknya dan tidak samar bagi mereka yang sering menela’ah kitab-kitab syari’ah. Antara lain adalah:
Orang yang menjarh-kan itu sendiri kadangkala merupakan orang yang di jarh. Dengan demikian, penilaian jarh-nya tidak dapat diterima begitu saja, begitu pula dengan ta;dil-nya, selama tidak didaati penilaian yang sama dari ulama lain.
Misalnya sebagaimana yang disampaikan adz-Dzahabi dalam kitan MIzan-nya, ketika menerjemahkan biografi Abnan bin Ishaq al Madani, seelah menukil penilaian Abdul Fath Al Azdi yang menyatakan bahwa Aban Bin Ishaq adalah”matruk”(ditinggalkan hadisnya). Adz dzahabi mengatakan :”Aban bin Ishaq tidaklah “matruk”. Ahmad al Ijli telah men tsiqoh-kan-na. abdul Fath adalah orang yang berlebihan dalam melakukan rajh, ia memiliki kitab akrangan yang sangat besar mengenai orang orang yang di rjh, ia mengumpulkan dan melakukan jarh dengan sendirinya terhadap banyak orang yang tidak seorang pun sebelum mempermasalahkan, justru ia sendiri yang dipermasalahkan.
Orang yang menilai jarh termasuk diantara ulama yang sangat ketat dan berebihan dalam menjarh. Keran ada sejumlah ulama al jar wa ta’dil yang sangat memperberat dalam hal ini. Mereka men-jarh para periwayat hadis hanya karena kecacatan sedikit, dan menilai para perowi itu dengan penilaian yang tidak semestinya. Orang seperti ini penilaian tsiqoh nya dpat diterima, sementara penilaian jarh-nya tidak dapat diterima begitu saja, melainkan bila telah ada penilaian yang sama dari orang lain yang obyektif dan dapat diperhitungkan. Diantara mereka adalah Abu hatim, an Nasa’I, Ibnu Ma’in, Ibnu Qoththon, Yahya Al Qoththon dan Ibnu Hibban. Mereka dikenal sebagai seoarang yang berpikiran cerdas hendaklah bersikap hati-hati dan meneliti para perowi yang hanya di jarh oleh mereka.
Sistematika bahasan yang dipakai para penyusun kitab-kitab tersebut juga berbeda –beda. Sebagian diantara hanya mencantumkan para perowi yang dho’if dan dusta saja, sebagian lagi menambahinya dengan menyebutkan hadis-hadis yang maidhu’. Ada yang menyebutkan para perowi yang tsiqoh saja, serta ada yang menggabungan antara yang dho’if dan tsiqoh. Mayoritas metode yang digunkan kitab-kitab itu adalah mengurutkan nama para perowi sesuai dengan huruf kamu(mu’jam)
Diantara yang terkenal dari kitab-kitab itu adalah:
1. Ma’rifatur Rijal, karya Yahya bin Ma’in (158-233 H.), ini merupakan kitab paling tua yang sampai pada kita, terdapat sebagaian darinya berupa manuskrip.
2. Adh Dhuafa’, karya Imam Muhammad bin Ismail al Bukhori (194-256 H), sesuai dengan namanya, kitab ini hanya mencantumkan para perowi hadis dho’if.
3. Al jarhu wa ta’dil, Abdurrohman bin Abi Hatim A Rozi (240-256 H), mencantumkan para perowi tsiqoh dan dho’if. Ini merupakan kitab paling komplit dari kalangan Ulama muttaqodimin, dan sangat besar faedahnya.
4. Ats Tsiqqot,karya Abu Hatim bin Hibban Al Busti (w. 354 H), kitab yang khusus menyebutkan para perowi tsiqqoh.
5. Al Kamli fi dhu’afa’, karya Abdullah bin Muhammad Ibnu Adiy al Jurjaniy(277-365 H).
6. Mizanul I’tidal, karya Imam syamsudin bin ahmad Dzahabi (673-748 H), termasuk litab paling lengkap tentang biografi perowi yang dijarh.
7. Lisanul Mizan,karya al Hafizh Syihabudin Ahmad bin Ali Bin Hajar al Asqolaniy(773-852), mencakup apa uang ada dalm Mizanul I’tidal disertai beberapa tambahan penting.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Umar Hasyim Qowa’idu Ushulil Hadits. Darul Fikr
Alqosimi. Qowaidul tahdist. Darul Kutub.
Qowaidul ushulil hadist. Darul fikr
Ajjaj Khotib. Ushulul hadis. Darul fikr.
Ar rof’u wat takmil fil jarhi ta’dil,
Al Laknawi. Maktabah Islamiyah Bandingkan dengan at Tartib. Darul Baz.
Umar hasym. Qowaid Ushulil Hadist. Darul fikr.
MAKALAH AL-JARH WA TA'DIL
22.51 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar