BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kitab al-Muwatta’, ia merupakan salah satu karya paling monumental. Bahkan kedudukan kitab al-Muwatta' boleh dibilang dapat sejajar dengan kitab-kitab hadist ter-mashhur yang ada di dalam Islam. Bahkan Imam syafi’I pernah berkata : “Di dunia ini tidak ada kitab setelah Al-Qur’an yang lebih sahih daripada kitab Malik”.
Untuk lebih spesifiknya kami akan memaparkan segala sesuatu yang berhubungan dengan Muwatta’, mulai dari pengarangnya sampai pendapat-pendapat para ulama’ tentang Muwatta’.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat merumuskan beberapa masalah :
1. Siapakah Imam Malik itu ?
2. Seperti apakah kitab Muwatta’ itu ?
3. Sebatas sampai manakah keberadaan kitab Muwatta’ itu ?
4. Bagaimanakah metode penulisan kitab Muwatta’ ?
5. Apa saja pendapat para ulama’ tentang Muwatta’ ?
6. Adakah sebuah kritikan yang orientalis terhadap Muwatta’ ?
1.3 Tujuan Penulisan
Setiap sesuatu yang ada didunia ini pasti mempunyai tujuan tersendiri tak terkecuali makalah ini, yang pastinya juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, diantaranya adalah:
1. Untuk mengetahui riwayat hidup Imam Malik.
2. Untuk mengetahui seluk beluk yang berhubungan dengan kitab Muwatta’.
3. Untuk mengetahui keberadaan kitab Muwatta’ dalam masyarakat luar.
4. Untuk mengetahui tentang metode penulisan kitab Muwatta’.
5. Untuk mengetahui pendapat para ulama’ tentang kitab Muwatta’.
6. Untuk mengetahui berbagai kritikan terhadap kitab Muwatta’.
7. Sebagai pengalaman dalam dunia kepenulisan yang dituntut untuk selalu memberikan asupan terhadap perkembangan kehidupan.
8. Sebagai tugas kelompok untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
MUWATTA’ SEBAGAI KITAB HADITS TERTUA
PRODUK ABAD KE-2
2.1 Riwayat Imam Malik
A. Nama dan Nasab serta Tahun Kelahiran Imam Malik
Imam Malik memiliki nama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani. Kunyah-nya Abu Abdullah, sedang laqab-nya al-Asbahi, al-Madani, al-Faqih, al-Imam Dar al-Hijrah, dan al-Humairi. Dengan melihat nasab Imam Malik, beliau memiliki silsilah yang sampai kepada tabi’in besar (Malik) dan kakek buyut (Abu Amir) seorang sahabat yang selalu mengikuti dalam peperangan pada masa Nabi.
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah, dari sepasang suami-istri Anas bin Malik dan Aliyah binti Suraik, bangsa Arab Yaman. Ayah Imam Malik bukan Anas bin Malik sahabat Nabi, tetapi seorang tabi’in yang sangat minim sekali informasinya. Dalam buku sejarah hanya mencatat, bawa ayah Imam Malik tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah, nama suatu tempat di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah. Sedang kakeknya, memiliki kunyah Abu Anas adalah tabi’in besar yang banyak meriwayatkan hadis dari Umar, Talhah, Aisyah, Abu Hurairah dan Hasan bin Abi Sabit; termasuk penulis mushaf Utsmani serta termasuk orang yang mengikuti penaklukan Afrika pada masa khalifah Utsman.
Tentang tahun kelahirannya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para sejarawan. Ada yang menyatakan 90 H, 93 H, 94 H dan adapula yang menyatakan 97 H. Tetapi mayoritas sejarawan lebih cenderung menyatakan beliau lahir tahun 93 H pada masa Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik ibn Marwan dan meninggal tahun 179 H.
Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang melahirkan 3 anak laki-laki (Muhammad, Hammad dan Yahya) dan seorang anak perempuan (Fatimah yang mendapat julukan Umm al-Mu’minin). Menurut Abu Umar, Fatimah temasuk di antara anak-anaknya yang dengan tekun mempelajari dan hafal dengan baik Kitab al-Muwatta’.
B. Kepribadian Imam Malik
Imam Malik memiliki budi pekerti yang luhur, sopan, lemah lembut, suka menolong orang yang kesusahan dan suka berderma kepada fakir miskin. Beliau juga termasuk orang yang pendiam, tidak suka membual dan berbicara seperlunya, sehinga dihormati oleh banyak orang.
Namun di balik kelembutan sikapnya, beliau memiliki kepribadian yang sangat kuat, dan kokoh dalam pendirian. Beberapa hal yang bisa menjadi bukti adalah:
1. Penolakan Imam Malik untuk datang ke tempat penguasa (istana), Khalifah Harun ar-Rasyid dan menjadi guru bagi keluarga mereka. Bagi Imam Malik semua orang yang membutuhkan ilmu harus datang kepada guru dan ilmu tidak mendatangi muridnya serta tidak perlu secara eksklusif disendirikan, meski mereka adalah penguasa.
2. Imam Malik pernah dicambuk 70 kali oleh Gubernur Madinah Ja’far ibn Sulaiman ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas, paman dari Khalifah Ja’far al-Mansur, karena menolak mengikuti pandangan Ja’far ibn Sulaiman. Bahkan dalam sebuah riwayat diceritakan Imam Malik didera dengan cemeti, sehingga tulang punggungnya hampir putus dan keluar dari lengannya dan tulang belakangnya hampir remuk. Setelah itu beliau diikat di atas punggung unta dan diarak keliling Madinah, supaya beliau malu dan mau mencabut fatwa-fatwanya yang berbeda dengan penguasa, tetapi Imam Malik tetap menolaknya.
3. Meski tiga Khalifah (Ja’far al-Mansur (131-163 H), al-Mahdi (163-173 H), dan Harun al-Rasyid (173-197 H) telah meminta Imam Malik menjadikan al-Muwatta’ sebagai Kitab resmi negara, namun tiga kali pula Imam Malik menolak permintaan mereka.
C. Guru, Murid dan Karya Imam Malik
1. Guru-guru Imam Malik
Sejak kecil atas dukungan orang tuanya, khususnya ibunya, beliau berguru kepada para ulama di Madinah. Beliau tidak pernah berkelana keluar dari Madinah. Karena, kota Madinah pada masa itu adalah pusat Ilmu Pengetahuan Agama Islam, dan karena di tempat inilah banyak tabi’in yang berguru dari sahabat-sahabat Nabi dan banyak ulama dari berbagai penjuru dunia berdatangan untuk berguru dan bertukar pikiran. Imam Malik pernah belajar kepada 900 guru, 300 di antaranya dari golongan tabi’in dan 600 orang dari kalangan tabi’it tabi’in. Menurut Amin al-Khulli, di antara guru-gurunya yang terkemuka adalah:
(a) Rabi’ah ar-Ra’yi bin Abi Abdurrahman Furuh al-Madani (w. 136 H). Rabi’ah adalah guru Imam Malik pada waktui kecil, yang mengajari Imam Malik tentang Ilmu Akhlak, Ilmu Fiqh dan Ilmu Hadis. Ada 12 riwayat hadis yang diriwayatkan, dengan perincian lima musnad dan satu mursal.
(b) Ibnu Hurmuz Abu Bakar bin Yazid (w. 147 H). Imam Malik berguru kepada Hurmuz selama kurang lebih 8 tahun dalam Ilmu Kalam, Ilmu I’tiqad dan Ilmu Fiqh dan mendapatkan 54-57 hadis darinya.
(c) Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H), Imam Malik meriwayatkan 132 hadis darinya, dengan rincian 92 hadis musnad dan yang lainnya mursal.
(d) Nafi’ ibn Surajis Abdullah al-Jaelani (w. 120 H). Dia adalah pembantu keluarga Abdullah ibn Umar dan hidup masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Riwayat Imam Malik darinya adalah riwayat yang paling sahih sanadnya. Imam Malik mendapat 80 hadis lebih dari Nafi’.
(e) Ja’far Sadiq ibn Muhammad ibn Ali al-Husain ibn Abu Talib al-Madani. (w. 148 H). Beliau adalah salah seorang Imam Isna Asy’ariyyah, ahlul bait dan ulama besar. Imam Malik berguru fiqih dan hadis kepadanya dan mengambil sembilan hadis darinya dalam bab manasik.
(f) Muhammad ibn al-Munkadir ibn al-Hadiri al-Taimy al-Qurasyi (w.131 H). Beliau adalah saudara dari Rabi’ah al-Ra’yi, ahli fiqih Hijaz dan Madinah, ahli hadis dan seorang qari` yang tergolong Sayyidat al-Qura.
2. Murid-murid Imam Malik
Murid-murid Imam Malik dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok:
(a). Dari kalangan Tabi’in di antaranya Sufyan al-Sauri, al-Lais bin Sa’id, Hammad ibn Zaid, Sufyan ibn Uyainah, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Syarik ibn Lahi’ah dan Ismail ibn Khatir.
(b). Dari kalangan Tabi’it-tabi’in adalah al-Zuhri, Ayub al-Syahkhtiyani, Abul Aswad, Rabi’ah ibn Abd al-Rahman, Yahya ibn Sa’id al-Ansari, Musa ibn ‘Uqbah dan Hisyam ibn ‘Urwah.
(c). Dari kalangan bukan Tabi’in adalah Nafi’ibn Abi Nu’aim, Muhammad ibn Aljan, Salim ibn Abi ‘Umaiyah, Abu al-Nadri, Maula Umar ibn Abdullah al-Syafi’i dan Ibn Mubarak.
3. Karya-karya Imam Malik
Di antara karya-karya Im`m Malik adalah:
(a) al-Muwatta’
(b) Kitab Aqdiyah
(c) Kitab Nujum, Hisab Madar al-Zaman, Manazil al-Qamar
(d) Kitab Manasik
(e) Kitab Tafsir li Garib al-Qur’an
(f) Ahkam al-Qur’an
(g) al-Mudawanah al-Kubra
(h)Tafsir al-Qur’an
(i) Kitab Masa’Islam
(j) Risalah ibn Matruf Gassan
(k) Risalah ila al-Lais
(l) Risalah ila ibn Wahb.
Namun, dari beberapa karya tersebut yang sampai kepada kita hanya dua yakni, al-Muwatta’ dan al-Mudawwanah al-Kubra.
D. Wafatnya Imam Malik
Sebagaimana tahun kelahirannya, ada beberapa versi tentang waktu meninggalnya Imam Malik. Ada yang berpendapat tanggal 11, 12, 13, 14 bulan Rajab 179 H dan ada yang berpendapat 12 Rabi’ul Awwal 179 H. Di antara pandangan yang paling banyak diikuti adalah pendapat Qadi Abu Fadl Iyad yang menyatakan bahwa Imam Malik meninggal pada hari Ahad 12 Rabi’ul Awwal 179 H dalam usia 87 tahun, setelah satu bulan menderita sakit. Beliau dikebumikan di kuburan Baqi’. Beliau berwasiat untuk dikafani dengan pakaianya yang putih dan dishalatkan di tempat meninggalnya. Dengan meninggalnya Imam Malik, berkurang satu tokoh dan ulama besar Madinah.
2.2 Mengenal Kitab Muwatta’
A. Latar Belakang Penyusunan Kitab Muwatta’
Ada beberapa versi yang mengemuka mengenai latar belakang penyusunan al-Muwatta’. Menurut Noel J. Coulson problem politik dan sosial keagamaan-lah yang melatarbelakangi penyusunan al-Muwatta’. Kondisi politik yang penuh konflik pada masa transisi Daulah Umayyah-Abasiyyah yang melahirkan tiga kelompok besar (Khawarij, Syi’ah-Keluarga Istana) yang mengancam integritas kaum Muslim. Di samping kondisi sosial keagamaan yang berkembang penuh nuansa perbedaan. Perbedaan-perbedaan pemikiran yang berkembang (khususnya dalam bidang hukum) yang berangkat dari perbedaan metode nash di satu sisi dan rasio di sisi yang lain, telah melahirkan pluratis yang penuh konflik.
Versi yang lain menyatakan penulisan al-Muwatta’ dikarenakan adanya permintaan Khalifah Ja’far al-Mansur atas usulan Muhammad ibn al-Muqaffa’ yang sangat prihatin terhadap perbedaan fatwa dan pertentangan yang berkembang saat itu, dan mengusulkan kepada Khalifah untuk menyusun undang-undang yang menjadi penengah dan bisa diterima semua pihak. Khalifah Ja’far lalu meminta Imam Malik menyusun Kitab hukum sebagai Kitab standar bagi seluruh wilayah Islam. Imam Malik menerima usulan tersebut, namun ia keberatan menjadikannya sebagai kitab standar atau kitab resmi negara.
Sementara versi yang lain, di samping terinisiasi oleh usulan Khalifah Ja’far al-Mansur, sebenarnya Imam Malik sendiri memiliki keinginan kuat untuk menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam memahami agama.
B. Penamaan Kitab Muwatta’
Tentang penamaan kitab al-Muwatta’ adalah asli berasal dari Imam Malik sendiri. Hanya saja tentang mengapa kitab tersebut dinamakan dengan al-Muwatta’ ada beberapa pendapat yang muncul:
1. Sebelum kitab itu disebarluaskan Imam Malik telah menyodorkan karyanya ini di hadapan para 70 ulama Fiqh Madinah dan mereka menyepakatinya. Dalam sebuah riwayat al-Suyuti menyatakan: “Imam Malik berkata, Aku mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli Fiqh Madinah, mereka semua setuju denganku atas kitab tersebut, maka aku namai dengan nama “Muwatta”.
2. Pendapat yang menyatakan penaman al-Muwatta’, karena kitab tersebut “memudahkan” khalayak umat Islam dalam memilih dan menjadi pegangan hidup dalam beraktivitas dan beragama.
3. Pendapat yang menyatakan penaman al-Muwatta’, karena kitab al-Muwatta’ merupakan perbaikan terhadap kitab-kitab fiqh sebelumnya.
C. Isi Kitab Muwatta’
Kitab ini menghimpun hadis-hadis Nabi, pendapat sahabat, qaul tabi’in, Ijma’ ahlul Madinah dan pendapat Imam Malik. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatta’;
a. Ibnu Habbab yang dikutip Abu Bakar al-A’rabi dalam Syarah al-Tirmizi menyatakan ada 500 hadis yang disaring dari 100.000 hadis
b. Abu Bakar al-Abhari berpendapat ada 1726 hadis dengan perincian 600 musnad, 222 mursal, 613 mauquf dan 285 qaul tabi’in.
c. Al-Harasi dalam “Ta’liqah fi al-Usul” mengatakan Kitab Malik memuat 700 hadis dari 9000 hadis yang telah disaring
d. Abu al-Hasan bin Fahr dalam “Fada’il” mengatakan ada 10.000 hadis dalam kitab al-Muwat}t}a’.
e. Arnold John Wensinck menyatakan dalam al-Muwat}t}a’ ada 1612 hadis
f. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi mengatakan “Kitab al-Muwat}t}a’ berisi 1824 hadis”.
g. Ibnu Hazm berpendapat, dengan tanpa menyebutkan jumlah persisnya, 500 lebih hadis musnad, 300 lebih hadis mursal, 70 hadis lebih yang tidak diamalkan Imam Malik dan beberapa hadis dha’if.
h. M. Syuhudi Ismail menyatakan “Kitab al-Muwatta’ hadisnya ada 1804”.
Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan sumber periwayatan di satu sisi dan perbedaan cara penghitungan. Ada ulama’ hadits yang hanya menghitung hadits berdasar jumlah hadits yang disandarkan kepada Nabi saja, namun adapula yang menghitung dengan menggabungkan fatwa sahabat, fatwa tabi’in yang memang termaktub dalam al-Muwatta’.
Menurut al-Suyuti, lebih dari seribu orang yang meriwayatkan al-Muwatta’, dan banyak naskah tentang itu. Namun yang terkenal adalah 14 naskah menurut al-Suyuti, dan menurut al-Kandahlawi ada 16 naskah, sedang menurut Qadi Iyad ada 20 naskah, meski ada yang berpendapat ada 30 naskah. Di antara naskah itu adalah:
a. Naskah Yahya bin Yahya al-Masmudi al-Andalusi (w. 204 H). Beliaulah yang pertama kali mengambil al-Muwatta’ dari Yazid bin ‘Abdurrahman bin Ziyad al-Lahmi (al-Busykatun) dan pembawa mazhab Maliki di Andalusia.
b. Naskah ibn Wahb (w. 197 H).
c. Naskah Abu Ubaidillah Abd al-Rahman bin al-Qasim ibn Khalid al-Misri (w. 191 H).
d. Naskah Abu Abd al-Rahman Abdullah bin Musalamah bin Qa’nabi al-Harisi (w.221 H).
e. Naskah Abdullah bin Yusuf al-Dimsyqi Abu Muhammad at-Tunaisi (w. 217 H).
f. Naskah Mu’an al-Qazzazi (w. 198 H).
g. Naskah Sa’id bin ‘Uffair (w. 226 H).
h. Naskah Ibn Bukair (w. 231 H).
i. Naskah Abu Mas’ab Ahmad bin Abu Bakr al-Qasim az-Zuhri (w.242 H).
j. Naskah Muhammad ibn al-Mubarak al-Quraisyi (w. 215 H).
k. Naskah Musa’ab ibn Abdullah al-Zubairi (w. 215 H).
l. Naskah Suwaid ibn Zaid Abi Muhammad al-Harawi (w. 240 H).
m. Naskah Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (w. 179 H).
n. Naskah Yahya bin Yahya al-Taimi (w. 226 H).
o. Naskah Abi Hadafah al-Sahmi (w. 259 H).
Di antara naskah-naskah tersebut, riwayat Yahya bin Yahya al-Andalusi yang paling popular.
D. Sistematika Kitab Muwatta’
Kitab al-Muwatta’ adalah kitab hadits yang bersistematika Fiqh. Berdasar kitab yang telah di-tahqiq oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab al-Muwatta’ terdiri dari 2 juz, 61 kitab (bab) dan 1824 hadits. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Juz I :
(1) Waktu-waktu Shalat, 80 tema, 30 hadits,
(2) Bersuci, 32 tema, 115 hadits,
(3) Shalat, 8 tema, 70 hadits,
(4) Lupa dalam Shalat, 1 tema, 3 hadits,
(5) Shalat Jum’at, 9 tema, 21 hadits,
(6) Shalat pada Bulan Ramadhan, 2 tema, 7 hadits,
(7) Shalat Malam, 5 tema, 33 hadits,
(8) Shalat Jama’ah, 10 tema, 38 hadits,
(9) Mengqashar Shalat dalam Perjalanan, 25 tema, 95 hadits,
(10) Dua Hari Raya, 7 tema, 13 hadits,
(11) Shalat dalam Keadaan Takut, 1 tema, 4 hadits,
(12) Shalat Gerhana Matahari dan Bulan, 2 tema, 4 hadits,
(13) Shalat Minta Hujan, 3 tema, 6 hadits,
(14) Menghadap Qiblat, 6 tema, 15 hadits,
(15) Al-Qur’an, 10 tema, 49 hadits,
(16) Shalat Mayat, 16 tema, 59 hadits,
(17) Zakat, 30 tema, 55 hadits,
(18) Puasa, 22 tema, 60 hadits,
(19) I’tikaf, 8 tema, 16 hadits,
(20) Haji, 83 tema, 255 hadits.
Juz II:
(21) Jihad, 21 tema, 50 hadits,
(22) Nadhar dan Sumpah, 9 tema, 17 hadits
(23) Qurban, 6 tema, 13 hadits,
(24) Sembelihan, 4 tema, 19 hadits,
(25) Bintang Buruan, 7 tema, 19 hadits,
(26) Aqiqah, 2 tema, 7 hadits,
(27) Faraid, 15 tema, 16 hadits,
(28) Nikah, 22 tema, 58 hadits,
(29) Talaq, 35 tema, 109 hadits,
(30) Persusuan, 3 tema, 17 hadits,
(31) Jual Beli, 49 tema, 101 hadits,
(32) Pinjam Meminjam, 15 tema, 16 hadits,
(33) Penyiraman, 2 tema, 3 hadits,
(34) Menyewa Tanah, 1 tema, 5 hadits,
(35) Syufa’ah, 2 tema, 4 hadits,
(36) Hukum, 41 tema, 54 hadits,
(37) Wasiyat, 10 tema, 9 hadits,
(38) Kemerdekaan dan Persaudaraan, 13 tema, 25 hadits
(39) Budak Mukatabah, 13 tema, 15 hadits,
(40) Budak Mudharabah, 7 tema, 8 hadits,
(41) Hudud, 11 tema, 35 hadits,
(42) Minuman, 5 tema, 15 hadits,
(43) Orang yang Berakal, 24 tema, 16 hadits,
(44) Sumpah, 5 tema, 2 hadits,
(45) Al-Jami’,7 tema, 26 hadits,
(46) Qadar, 2 tema, 10 hadits,
(47). Akhlak yang Baik, 4 tema, 18 hadits,
(48) Memakai Pakaian, 8 tema, 19 hadits,
(49) Sifat Nabi SAW., 13 tema, 39 hadits,
(50) Mata, 7 tema, 18 hadits,
(51) Rambut, 5 tema, 17 hadits,
(52) Penglihatan, 2 tema, 7 hadits,
(53) Salam, 3 tema, 8 hadits,
(54) Minta Izin, 17 tema, 44 hadits,
(55) Bai’ah, 1 tema, 3 hadits,
(56) Kalam, 12 tema, 27 hadits,
(57) Jahannam, 1 tema, 2 hadits,
(58) Shadaqah, 3 tema, 15 hadits,
(59) Ilmu, 1 tema, 1 hadits,
(60) Dakwah Orang yang Teraniaya, 1 tema, 1 hadits,
(61) Nama-nama Nabi SAW., 1 tema, 1 hadits.
E. Kitab-kitab Syarah Muwatta’
Kitab al-Muwatta’ disyarahi oleh beberapa ulama di antaranya:
1. al-Tamhid lima fi al-Muwatta’ min al-Ma’ani wa al-Asanid karya Abu Umar ibn Abdil Bar al-Namri al-Qurtubi ( w. 463 H).
2. Al-Istizkar fi Syarh Mazahib Ulama al-Amsar karya Ibn ‘Abdil Barr (w. 463 H).
3. Kasyf al-Mugti fi Syarh al-Muwatta’ karya Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H).
4. Tanwirul Hawalik, karya Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H).
5. Syarah al-Ta’liq al-Mumajjad ala Muwatta’ Imam Muhammad karya al-Haki ibn Muhammad al-Laknawi al-Hindi
6. al-Muntaqa karya karya Abu Walid al-Bajdi (w. 474 H).
7. al-Maswa karya al-Dahlawi al-Hanafi (w. 1176 H).
8. Syarh al-Zarqani karya al-Zarqani al-Misri al-Maliki (w. 1014 H).
2.3 Keberadaan Kitab Muwatta’
Kitab al-Muwatta’ merupakan salah satu karya paling monumental. Bahkan kedudukan kitab al-Muwatta' boleh dibilang dapat sejajar dengan kitab-kitab hadits termashur yang ada di dalam Islam. Sepintas dalam pandangan sederhana, ketika mencermati nama al-Muwatta dapat ditarik kesimpulan bahwa kitab tersebut sangat terkait dengan salah satu metode pembukuan hadits yang digunakan oleh Imam Malik. Terutama, ketika Imam Malik melakukan kodifikasi terhadap kitab hadits tersebut.
Dalam hal ini, dapat dilihat dari dua perspektif. Perspektif pertama, yaitu terminologi atau defenisi dari kata al-Muwatta' ( الموطأ). Secara etimologi, kata Muwatta’ ( موطأ) berarti yang disepakati atau tunjang atau panduan tentang ilmu dan hukum-hukum agama. Sedangkan menurut terminologi, al-Muwatta’ merupakan sebuah kitab yang mengandung hadits-hadits hukum yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabi'in. Istilah tersebut, memang mendeskripsikan di dalam kitab itu sendiri yang di dalamnya tidak lain terdiri dari hadis-hadis dari ahl al-Hizāz, pendapat para Sahabat, fatwa-fatwa dari Tabi'in dan kelompok setelahnya.
Dalam perspektif lain, yaitu metodologi hadits, kata Muwatta’ ( الموطأ) berasal dari bahasa Arab yang berarti "sesuatu yang dimudahkan". Sedangkan menurut Istilah metodologi, Muwatta merupakan metode pembukuan hadits yang berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab fiqhiyah) dan mencantumkan hadis-hadis marfu’ (berasal dari Nabi SAW), mauquf (berasal dari Sahabat), dan maqtu’ (berasal dari Tabi’in).
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah bahwa salah satu motivasi Imam Malik dalam melakukan pembukuan dengan menggunakan metode ini adalah untuk memudahkan bagi para pentakhrij dalam mencari hadis. Dan barangkali bagi sebagian masyarakat pada saat itu, mereka sedang mengalami kesulitan ketika mencari hadis. Tentunya, ini merupakan suatu perhatian yang luar biasa dari seorang ulama besar dalam menyebarluaskan tanggung jawabnya sebagai seorang imam. Perhatian Imam Malik dalam bidang hukum Islam telah terbukti dengan hadirnya kitab al-Muwatta’. Tergugahnya hati Imam Malik untuk menulis dan mengkodifikasi kitab tersebut, tidak lain, berkat anjuran dari Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur pada tahun 144H. Kegiatan penulisan kitab tersebut, selesai ditulis oleh Imam Malik pada tahun 158H. begitu juga, Imam Malik selesaikan di kota kelahirannya, yaitu kota Madinah.
Menurut pandangan sederhana bahwa ultimate goal dari perintah tersebut, sebagai sesuatu essensi yang berbanding lurus dengan cita-cita Abu Ja'far. Bahwa Abu Ja'far menganggap akan pentingnya keberadaan sebuah kitab yang dapat dijadikan sebagai salah satu kitab rujukan bagi para hakim di pengadilan. Walau pada akhirnya, Imam Malik sendiri yang menolak, jika kitabnya dijadikan sebagai salah satu rujukan pada waktu itu.
Berdasarkan hasil penelitian, sebagaimana yang dikutip oleh Zahri dari Abu Bakar al-Bahari, bahwa secara substansi atau isi, jumlah hadits yang terakumulasi dalam kitab al-Muwatta’ adalah kurang lebih 1720 hadits. Dari jumlah tersebut, tidak hanya athar Rasulullah. Tetapi juga, dari para Sahabat maupun athar dari para Tabi’in. Sudah otomatis dari substansi itu saja sangat mencirikan sebagai salah satu karakteristik dari Imam Malik yang berbeda dengan kitab-kitab hadits lainnya.
Dari jumlah tersebut di atas, kesempurnaan kitab al-Muwatta' merupakan buah hasil dari kerja keras Imam Malik setelah melakukan perjalanan panjang dalam mengkaji ulang hadis-hadis yang terakumulasi di dalam kitabnya. Padahal sebelumnya, bilangan dari hadis-hadis yang terakumulasi dalam kitab al-Muwatta berjumlah kurang lebih 10.000 hadis.
2.4 Metode Penulisan Kitab Muwatta’
Selain Imam Malik, terdapat pula ulama-ulama besar lain, bahwa mereka telah melakukan penulisan hadis yang sama sebagaimana yang dilakukan Imam Malik, yaitu mereka menulis dengan menggunakan metode muwatta’. Sebut saja misalnya, Imam Abu Dzi’b (w. 158H) dan Imam Abu Muhammad al-Mawarzi (w. 293H). Namun tampaknya, kitab Imam Malik-lah yang lebih populer dari kitab-kitab muwatta’ yang ada. Bahkan menurut pendapat Ya’qub, bahwa “apabila disebutkan nama muwatta’, maka konotasinya langsung dan selalu tertuju kepada kitab hasil karangan Imam Malik”.
Terjadinya kondisi seperti itu, karena memang pengaruh besar dari legitimasi Imam Malik di tengah-tengah masyarakat. Bahkan hal tersebut, telah menjadi kepercayaan yang luar biasa terhadapnya. Walau pada akhirnya, banyak ulama yang menyebutkan bahwa kitab al-Muwatta' bukanlah kitab hadist secara an sich, tetapi juga sebagai kitab fikih.
Dikatakan kitab al-Muwatta' sebagai kitab fikih, terletak pada corak Imam Malik ketika mengutip hadis- hadis yang memang hanya mementingkan pada aspek matan hadist (substansi) saja. Mungkin hal demikianlah yang berbeda dengan ulama- ulama hadis pada umumnya, bahwa mereka lebih mendahulukan pada aspek sanad (perawi) hadis. Bahkan hal tersebut yang menjadikan Imam Malik lebih dikenal sebagai ulama Fikih dari pada ulama hadis. Walau demikian, bukan berarti Imam Malik tidak mengetahui tentang sanad hadis. Tetapi karena memang Imam Malik menganggap bahwa mereka (baca: perawi) yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut sudah cukup mashur atau terkenal. Disinilah, menurut hemat penulis, sebagai salah satu kelemahan dari kitab tersebut. Seharusnya sudah terpikirkan oleh Imam Malik bahwa kitabnya tidak hanya digunakan pada masanya, tetapi juga untuk digunakan pada masa yang akan datang.
2.4 Pendapat Ulama” Tentang Kitab Muwatta’
Selanjutnya, kitab al-muwatta’, sebagaimana yang kita ketahui, ia merupakan kitab yang ternyata terdapat atau diterbitkan ke dalam berbagai versi yang berbeda. Menurut Azami bahwa kitab tersebut memiliki delapan versi dan lima belas diantaranya yang terkenal. Begitu pula, menurut pendapat Duton “hanya 9 versi dari sekian versi ini yang masih ada”. Diantaranya, terdapat beberapa versi yang dapat dilacak oleh penulis adalah kitab al-Muwatta riwayat Yahya al-Laithî dan kitab al-Muwatta’ riwayat Muhammad bin al-Hasan. Walau demikian, jika dilacak secara seksama dari kitab tersebut, tetap tidak ada perbedaan signifikan dari kitab tersebut.
Dengan demikian, tidaklah salah dengan usaha yang dilakukan oleh Haddad, bahwa ia memilih sebuah pendapat dari Ibn Abd Barr dalam menilai keberadaan Imam Malik. Menurutnya, Imam Malik secara tidak langsung adalah sosok orang pertama yang mengkompilasi bentuk buku narasi yang eksklusif. Dan itulah sebabnya, bahwa kitab al-Muwatta’ merupakan salah satu kitab hadis yang pertama pada masa awal dibandingkan dengan kitab Bukhari, lanjut beliau.
Terkait statement di atas, dapat pula ditemukan beberapa pendapat mengenai perbedaan pendapat tersebut dalam kitab al-Muwatta sendiri. Diantaranya, salah satu pendapat dari al-Hafidz al-Mughlatha yang berpendapat bahwa kitab al-Muwatta’ tidak berbeda dengan kitab sahih al-Bukhari. Pendapat tersebut tentunya berbeda dengan statement dari Ibnu Hajar yang berpendapat bahwa adanya ikhtilaf diantara keduanya. Entah kenapa, keberadaan kitab sahih al-Bukhari lebih dikenal sebagai kitab hadis secara an sich. Mungkin karena memang, keberadaan kitab al-Muwatta' lebih dikenal sebagai kitab fikih secara an sich. Terutama jika dihubungkan dengan keberadaan Imam Malik yang sangat mementingkan aspek matan dari sebuah hadis. Bahkan karakteristik itulah yang melekat di dalam dirinya sebagai sosok Imam Mazhab besar dalam dunia Islam.
Kemudian di antara ulama yang memberikan penilaian terhadap kitab al-Muwatta’ adalah:
a. Imam Syafi’i : “Di dunia ini tidak ada kitab setelah al-Qur’an yang lebih sahih daripada kitab Malik...”
b. al-Hafiz al-Muglatayi al-Hanafi: “ Buah karya Malik adalah kitab shahih yang pertama kali”
c. Ibn Hajar:” Kitab Malik sahih menurut Malik dan pengikutnya...”
d. Waliyullah al-Dahlawi menyatakan al-Muwatta’ adalah kitab yang paling sahih, mashur dan paling terdahulu pengumpulannya.
2.5 Kritikan Orientalis Terhadap Al-Muwatta’
Di antara orientalis yang memberikan kritikan terhadap karya Imam Malik adalah Joseph Schacht. Schacht meragukan otentitas hadis dalam al-Muwatta’, di antara hadis yang dikritiknya adalah tentang bacaan ayat sajdah dalam khutbah Jum’ah oleh Khatib:
عن هشام ين عروة عن أبيه أن عمر بن الخطاب قرأ سجدة وهو على المنبر يوم الجمعة فنزل فسجد الناس معه ثم قرأها يوم الجمعة الأخرى. فتهيأ الناس السجود فقال على رسلكم إن الله ثم يكتبها علينا إلا أن نشأ فلم يسجد ومنهم أن يسجد.
Dalam pandangan Schacht, hadis tersebut putus sanadnya, padahal dalam riwayat Bukhari sanadnya bersambung. Menurutnya, dalam naskah kuno kitab al-Muwatta’ terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama Umar”. Kata-kata ini tidak pernah diucapkan oleh Urwah, hanya dianggap ucapannya. Oleh karenanya, dari pendekatan historis berarti naskah/teks hadis lebih dahulu ada, baru kemudian dibuatkan sanadnya. Sanad tersebut untuk kemudian dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa dan disebut berasal dari masa silam.
Tuduhan Schacht tersebut dibantah oleh Muhammad Mustafa A’zami, teks tersebut adalah sesuai dengan naskah aslinya, karena naskah asli tulisan Malik tidak diketemukan. Para pen-syarah al-Muwatta’ seperti Ibnu ‘Abdil Barr dan az-Zarqani sama sekali tidak pernah menyinggung tentang adanya naskah kuno seperti yang disebut Schacht. Secara umum Azami menyatakan apa yang dilakukan Schacht dalam penelitian otentitas sanad dengan mengambil contoh hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Fiqh seperti al-Muwatta’ Imam Malik, al-Muwatta’ al-Syaibani dan al-Umm al-Syafi’i adalah tidak tepat, karena pada umumnya metode yang dipakai dalam kitab-kitab fiqh ataupun sejarah tidak memberi data secara detail lengkap runtutan sanadnya, tetapi mencukupkan menyebutkan sumbernya atau sebagian sanadnya.
Hal lain yang dikritisi Schacht adalah tentang 80 hadis dalam al-Muwatta’ yang disebut “Untaian Sanad Emas”, Yakni Malik-Nafi’-Ibnu Umar. Schact meragukan untaian sanad tersebut, mengingat usia Malik terlalu dini (15 tahun). Apa mungkin riwayat dari anak usia 15 tahun diikuti banyak orang, sementara masih banyak ulama besar lain di Madinah. Alasan lainnya, Nafi’ pernah menjadi hamba sahaya dalam keluarga Ibnu Umar, sehingga kredibilitasnya perlu dipertanyakan.
Hal tersebut disanggah Azami, Schacht dianggap keliru dalam menghitung usia Malik, seharusnya Schacht menghitung umur Malik saat Nafi’ wafat bukan dari tahun wafatnya Malik. Sehingga usia Malik saat itu adalah 20-24 tahun. Pada usia-usia tersebut bukan terlalu muda untuk dianggap sebagai seorang ulama. Adapun tentang Nafi’ yang mantan budak Ibnu Umar, sebenarnya itu tidak menjadi masalah karena penerimaan seorang rawi yang paling penting adalah “dapat dipercaya”, dan Nafi dianggap orang yang paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Ibn Umar. Di samping dalam hal ini Nafi’ bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadis Ibn Umar, sehingga bisa dijadikan pembanding dan mungkinkah ribuan rawi di perbagai tempat bersepakat berbohong untuk menyusun sanad tersebut.
2.5 Pendapat Penulis
Dari sini telah jelas bahwasanya kitab al-Muwatta’ adalah salah satu kitab hadits yang paling terkenal atau yang paling diakui oleh para ulama’ tentang keberadaannya di dunia ini. Pendapat ini diperkuat oleh dawuhnya Ilam Syafi’i, “Di dunia ini tidak ada kitab setelah Al-Qur’an yang lebih sahih daripada kitab Malik (al-Muwatta’)”, dan juga Waliyullah al-Dahlawi menyatakan, ”al-Muwatta’ adalah kitab yang paling sahih, mashur dan paling terdahulu pengumpulannya”.
Oleh karena itu banggalah bagi kita-kita yang telah ikut mempelajari salah satu kitab kebanggaan umat Islam ini. Dan sudah seharusnya sebagai umat yang baik kita harus menjaga dan melestarikan buah karya dari seorang imam besar yang bernama Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat kami simpulkan bahwa kitab al-Muwatta’ adalah merupakan salah satu karya paling monumental yang dikarang oleh Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani atau yang lebih dikenal sebagai Imam malik.
Kitab ini merupakan kitab hadits yang bersistematika Fiqh yang terdiri dari 2 juz, 61 kitab (bab) dan 1824 hadits.
Dari sinilah semoga kita bisa mengambil ilmu dari kitab muwatta’ yang paling shahih setelah al-qur’an ini. Dan semoga apa yang dapat kami paparkan disini bisa bermanfaat bagi semua orang. Amin.
Dan tak lupa sebagai makhluk yang tak pernah luput dari kesalahan kami sebagai penyusun makalah ini jika dalam pemaparan kami terdapat kesalahan baik dari segi tulisan, bahasa atau penjelasan yang kurang, kami dengan rendah hati memohon keikhlasannya untuk mau memaafkannya. Atas kerelaan hati anda semua kami ucapkan terima kasih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
http:/www.google.co.id/#hl=id&source=muwatta+imam0+malik
MAKALAH MUWATTHO' IMAM MALIKI
22.58 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar