KAIDAH KAIDAH USHULIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah Ushul) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa STAIN Pamekasan, calon mujtahid yang akan meneruskan perjuangan pendahulu-pendahulu kita dalam membela dan menegakkan islam dimanapun berada. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul ushuliyah. Maka dari itu, kami selaku penyusun mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah ushul, mulai dari pengertian, perkembangan, sumber-sumbernya, dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah ushul.
B. Rumusan Masalah
1. Mengerti dan memahami penfertian kaidah ushul.
2. Menyebutkan sumber-sumber pengambilan kaidah-kaidah ushul.
3. Menyebutkan rukun serta syarat-syarat kaidah-kaidah ushul.
4. Mengerti persamaan serta perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh?
5. Mengeerti hubungan antara kaidah-kaidah ushul dengan ushul fiqh itu sendiri?
6. Mengetahui faedah serta kedudukan kaidah-kaidah ushul.
C. Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah ushul, mulai dari definisi, sumber-sumber, rukun, syarat, perbedaannya dengan kaidah-kaidah fiqh, hubungannya dengan ilmu ushul fiqh dan buku-buku yang menjadi sumbernya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KAIDAH USHUL FIQH
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah ushul diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah ushul fiqh, kita akan mencoba menjelaskan beberapa permasalahan mulai dari defenisi kaidah secara bahasa dan istilah, defenisi ushul fiqh secara bahasa dan istilah, defenisi kaidah-kaidah ushuliyyah secara bersamaan. Didalam seluruh defenisi tadi terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan ulama, penyusun akan mencoba menulis beberapa defenisi dari kalangan ulama atau hanya sekedar menulis defenisi yang menurut penyusun lebih rajih atau lebih kuat.
a. Defenisi kaidah
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti “aturan atau patokan”. Dalam bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diataranya: al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara duduk, yang baik atau yang buruk), Qo’id ar rojul (Istrinya), Dzul Qo’dah (nama salah satu bulan qomariyah yang mana orang arab tidak mengadakan perjalanan didalamnya) dan lain sebagainya.
Dari seluruh arti tadi dapat kita simpulkan bahwa kaidah secara bahasa artinya tidak akan keluar dari dasar atau pondasi dan tempat sesuatu.
Adapun secara istilah banyak sekali defenisi yang di buat oleh para ulama, tetapi yang paling lengkap dan paling baik menurut penyusun adalah:
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya.“
b. Definisi Ushul Fiqh
Dilihat dari segi kebahasaan, kata Ushul Al-Fiqh terdiri dari dua kata yang punya makna tersendiri, yaitu Ushul dan Al-Fiqh. Ushul adalah jamak dari kata al-ashlu bermakna dasar-dasar yang menjadi landasan bagi tumbuhnya sesuatu yang lain.[1] Sedangkan fiqh adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum syara’ untuk berbagai perbuatan mukallaf, melalui kejian-kajian ijtihad dari dalil-dalilnya yang terinci. Dengan demikian ushul al-fiqh adalah sekumpulan dalil yang menjadi dasar tumbuh dan terbinanya fiqh, serta menghubungkannya pada dalil-dalil nash dan ijma’ sahabat.[2]
B. DEFINISI KAIDAH-KAIDAH USHULIYAH
Dr. Jailany mendefinisikan sebagai:” hukum kulli (bersifat umum) yang berdiri diatasnya furu’ fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk umum dan akurat”.
Defenisi ini belum maani’ karena kaidah-kaidah fiqh masih masuk didalamnya.
Prof. Dr. Muhammad Syabir mendefinisikan sebagai:” ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al far’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
Defenisi yang menurut penyusun lebih akurat adalah:” Hukum kulli (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil”.
C. DIFINISI KAIDAH-KAIDAH FIQHIYAH
Menurut Bani Ahmad Salbani kaidah fiqhiyah adalah pedoman umum dan universal bagi pelaksanaan hukum islam yang mencakup seluruh bagiannya. Titik tolak pelaksanaan hukum islam diatur oleh kaidah-kaidah yang berifat universal yang merupakan stasiun keberangkatan suatu perbuatan. Sebagaimana ada kaidah yang menyatakan bahwa keyakinan tidak terkalahkan oleh keraguan,setiap perbuatan harus dilandasi dengan keyakinan, bukan oleh keraguan.[3]
Sedangkan menurut ulama ushul fiqih adalah : امر كلي ينطبك عليها جزئـيـات كثيـرة (sesuatu yang bersifat umum yang mencakup bagian-bagian yang banyak).
D. MACAM-MACAM QAIDAH FIQHIYAH
Macam-macam qaidah fiqhiyah ini ada lima dan disebut juga sebagai pancakaidah.[4]
1. الامـور بـمـقـاصـده (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
2. الضرر يـزال (Kemudharatan harus dihilangkan)
3. الـعـادة محكـمة (Kebiasaan dapat menjadi hukum)
4. اليـقـين لايزال بالشـك (Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
5. المـشـقة تـجـلب التـيسـير (Kesukaran mendatangkan kemudahan)
E. FUNGSI DARI USHUL AL-FIQH
Fungsi utama dari ilmu ushul al-fiqh adalah mengangkat ketentuan-ketentuan hukum islam yang terpapar dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga setiap orang mukallaf dapat mengetahuinya dengan baik, dan menerimanya sebagai ketentuan syara’ baik secara yakin maupun dzan.[5] Para ulama menempuh langkah-langkah kreatif menurut norma-norma hukum itu terpapar secara acak dalm al-Qur’an dan al-Sunnah dalam bentuk kalam-kalam yang tertulis, dan mereka tidak berjumpa langsung dengan rasulullah sebagai orang yang menyampaikan kalam tersebut dan mampu menjelaskannya dengan baik.
Dengan demikian, ushul fiqh haya merupakan metodelogi kajian hukum dari nash-nash al-Quran dan al-Sunnah yang berfungsi mengangkat ketentuan-ketentuan hukum islam, untuk kemudian menjadi pedoman bagi orang-orang mukallaf dalam menjalani kehidupan ini.[6]
F. PERBEDAAN ANTARA KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH DENGAN KAIDAH-KAIDAH FIQHIYYAH
Perbedaan antara keduanya adalah sebagi berikut:
1. Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
2. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
3. Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4. Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain
5. Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
6. Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’i. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
7. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan ‘illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il –alfiqhiyawa tashiliha.[7]
G. CONTOH KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQH SERTA DASAR-DASAR PENGAMBILANNYA
Untuk memperjelas maksud kami menyusun makalah ini kami akan menyertakan contoh dari kaidah-kaidah yang telah kami sebutkan.
1. الامـور بـمـقـاصـده (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
Contoh: kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat.begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya niat.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:[8]
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ….
Artinya: ”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS. Ali-Imran: 145)
2. الضرر يـزال (Kemudharatan harus dihilangkan)
Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak yang mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon tersebut harus di tebang.
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56:[9]
وَلا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ بَعْدَ إِصلحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
3. الـعـادة محكـمة (Kebiasaan dapat menjadi hukum)
Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana kebiasaan tersebut telah mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan tersebut akan menjadi hukum, misalkan kebiasaan petik laut, kalau ada masyarakat pesisir yang tidak melakukan petik laut tersebut, maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat setempat.
Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 199:
خذ العفـو وأمر بالـعرف واعـرض عن الجهـلـين
Artinya: “jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”
Ada perbedaan antara al-adah dengan ‘urf. Adat (al-adah) adalah perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya logis, tapi tidak semuanya menjadi hukum. Sedangkan ‘urf, jika jika mengacu pada “al-ma’ruf”, berarti kebiasaan yang normatif dan semuanya dapat dijadikan hokum, karena tidak ada yang bertentangan dengan al-quran atau hadits.
4. اليـقـين لايزال بالشـك (Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’ kita telah batal.
5. المـشـقة تـجـلب التـيسـير (Kesukaran mendatangkan kemudahan)
Contoh: apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalana tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut.
Qaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُ$D9�ُ الْعُسْرَ
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Surat An-Nisa’ ayat 28:
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat kami simpulkan:
1. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti “aturan atau patokan”.
2. ushul al-fiqh adalah sekumpulan dalil yang menjadi dasar tumbuh dan terbinanya fiqh, serta menghubungkannya pada dalil-dalil nash dan ijma’ sahabat.
3. Kaidah ushuliyah adalah Hukum kulli (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil.
4. Kaidah fiqhiyah adalah pedoman umum dan universal bagi pelaksanaan hukum islam yang mencakup seluruh bagiannya.
5. Macam-macam qaidah fiqhiyah ada lima, seperti yang telah disebutkan di depan.
B. Saran-saran
Kami sadar bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah, oleh karena itu kami sangat mengharap saran dan kritik yang membangun agar kami bisa menjadikan pedoman untuk yang akan datang.
MAKALAH KAIDAH USHULIYAH
23.18 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar