RSS

MAKALAH ORIENTALIS HADITS

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam. Yang senantiasa dan tak henti-hentinya menghujankan Rohmat dan inayahNya pada kita semua, sehingga kita semua senantiasa dalam keadaan iman dan islam.
Sholawat dan salam semoga tetap terhaturkan pada junjungan kita Nabi agung, rajanya para nabi, mutiara rahmat serta penebar benih kesucian cinta yaitu nabi Muhammad SAW besrta sahabat, keluarga, tabi’in dan semua pngikut-pengikut yang beriman kepadanya.
Syukur Alhamdulillah penulis telah menyelesikan penulisan makalah yang berjudul “ Orientalis dan Hadits “ ini sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Ilmu Ilmu Hadits II meskipun dengan berbagai kekurangan. Penulis mengucapkan banyak terimakasih pada beberapa pihak baik pada dosen pengampuh mata kuliah ini, pada orang tua dan pada semua teman yang telah suka rela membantu penulis menyeleseikan tugas ini baik secara dukungan moral, tuntunan dan terkhusus yang berupa do’a. mudah-mudahan amal baik mereka semua diterima di sisi Allah SWT sebagai amalan dan syafa’at besok di hari akhir.
Tentu dalam penulisan makalh ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu Saran, ide, masukan serta teguran dari semua pihak baik yang membaca, mengkaji atau mempelajari makalah ini sangat kami harapkan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jombang, 12 Juni 2011

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
Pembahasan seputar Islam tak pernah terlepas dari sumber yang membentuk, mendefinisikan serta menetapkan hukumnya, yakni al-Qur’an dan Hadis. Kedua sumber tersebut saling terkait, karena sekalipun al-Qur’an merupakan tuntunan komprehensif, tetaplah al-Qur’an dalam beberapa bagiannya cenderung global yang membutuhkan penjelas dan pembatas, dalam hal ini Hadis lah yang paling berperan. Lebih jauh lagi, peranan Hadis tidak hanya sebagai penjelas dan pembatas, juga sekaligus sebagai praktek nyata dari apa yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an, dan tidak jarang Hadis menjadi Legislator (Syari’) baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Namun, historisitas keduanya hingga sampai kepada kita sangatlah berbeda, Hadis tidak langsung terkodifikasi pada era awal Islam sebagaimana al-Qur’an. Setidaknya hal ini yang menjadikan Hadis cenderung lebih rumit untuk dikaji, karena masih memperbincangkan masalah otentisitas sebelum beranjak kepada pemahaman makna. Bahkan dalam beberapa kasus, otentisitas tersebut menyulut perdebatan panjang sehingga terlena dengan romantisme sejarah dan pada gilirannya melupakan substansi dari Hadis itu sendiri, yaitu untuk dipahami dan diaplikasikan.
Kajian seputar otentisitas Hadis tersebut terus berkembang, darinya muncul beberapa diskursus baru guna melengkapi koleksi khazanah kelimuan Islam terkait dengan metodologi uji otentisitas Hadis tersebut, semisal Ilm Rijal al-Hadis, ‘Ulum al-Hadis, al-Dirayah, ‘Ilm Tarikh al-Ruwah, Ilm Jarh} wa al-Ta’di>l, dan lain sebagainya. Perdebatan mengenai validitas tersebut terkadang menimbulkan sikap skeptis terhadap para pengkaji Hadis. Disinilah, peluang non-Muslim (Orientalis) untuk menumbuh-kembangkan sikap skeptis kepada umat Islam terhadap sumber ajaran kedua (Hadis) makin terbuka lebar. Adalah Ignaz Goldziher yang terhitung gigih dalam melantangkan idenya, bahwa pemalsuan Hadis telah dimulai sejak Nabi masih hidup. Dari pemikirannya itu banyak sekali keraguan-keraguan yang muncul, sehingga keabsahan Hadis yang selama ini telah mapan, tergoyangkan dengan analisinya yang dalam. Sedikit banyak pemikirannya telah mempengaruhi beberapa Orientalis setelahnya. Pengaruh itu pun tidak hanya menggema dalam kubu Orientalis itu sendiri, melainkan juga beberapa dari Pemikir Islam Modern turut mengamini hasil pemikirannya, baik itu secara terang-terangan dalam mengemukakan gagasannya, maupun yang terbungkus dalam cover yang berbeda. Salah satu dari Cendekiawan Muslim yang terpengaruh oleh pemikiran Ignaz tersebut—menurut beberapa pendapat—ialah Prof. Dr. Ahmad Amin.
Berangkat dari hipotesa sederhana tersebut, dalam tulisan ini penulis mencoba menelaah lebih lanjut bagaimana sebenarnya pemikiran Ahmad Amin mengenai Hadis. Penulis memfokuskan kajian pada salah satu bukunya, “Fajr al-Isla>m”, sebuah karya kritik sejarah yang ditulis olehnya yang banyak menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para intelektual Islam.




















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Orientalis
Orang yang berpikiran liberal-sekular umumnya tidak kritis terhadap orientalisme. Di satu sisi mereka memang bisa sangat kritis (dan liar) terhadap doktrin-doktrin Islam yang sebetulnya sudah baku dan mapan (ma’luumun min al-din bi al-dharurah), seperti kenabian Muhammad SAW, otentisitas Al-Qur`an, wajibnya Khilafah, dan wajibnya formalisasi syariah oleh negara. Namun anehnya, di sisi lain daya kritis ini tiba-tiba menjadi tumpul dan bebal ketika berhadapan dengan karya-karya kaum orientalis yang kafir.
Banyak definisi orientalisme di kalangan para pakar dan ulama. Menurut Dr. Muthabaqani, pakar orientalisme dari Fakultas Dakwah Universitas Imam Muhammad Ibnu Sa’ud Madinah, istilah orientalisme mulai muncul sejak dua abad yang lalu [abad ke-18 M], meski aktivitas kajian bahasa dan sastra ketimuran (khususnya Islam) telah terjadi jauh sebelumnya.
Muthabaqani menyatakan bahwa istilah orientalis muncul lebih dulu daripada istilah orientalisme. A.J. Arberry (1905-1969) dalam kajiannya menyebutkan istilah orientalis muncul tahun 1638, yang digunakan oleh seorang anggota gereja Timur (Yunani). Pada tahun 1691, istilah orientalis digunakan oleh Anthony Wood untuk menyebut Samuel Clarke sebagai “orientalis yang cerdas”, karena mengetahui beberapa bahasa Timur. (Muthabaqani, Al-Istisyraq, hal. 2-3).
Beberapa pendapat para pakar tentang pengertian Orientalis :
1. Menurut Rudi Paret (orientalis Jerman, lahir 1901)
orientalisme adalah “ilmu ketimuran (‘ilmu al-syarq) atau ilmu tentang dunia timur (‘ilmu al-‘alam al-syarqiy).”
2. Menurut A.J. Arberry
Dalam menggunakan Kamus Oxford untuk mendefinisikan orientalis, yaitu “orang yang mendalami berbagai bahasa dan sastra dunia timur.” (Muthabaqani, Al-Istisyraq, hal.3).
3. Maxime Rodinson (orientalis Perancis, lahir 1915)
Istilah orientalisme muncul dalam bahasa Perancis tahun 1799 dan dalam bahasa Inggris tahun 1838. Orientalisme ini, menurut Rodinson, lahir untuk memenuhi kebutuhan “mewujudkan satu cabang pengetahuan khusus untuk mengkaji dunia timur.” Rodinson menambahkan bahwa kebutuhan ini amat mendesak, agar terwujud orang-orang spesialis yang siap untuk menerbitkan berbagai majalah, mendirikan berbagai universitas, dan berbagai departemen ilmiah.” (Muthabaqani, Al-Istisyraq, hal.3).
4. Muthabaqani
Definisi orientalisme menurut kritikus orientalisme yang terkenal, yaitu Edward Sa`id dalam bukunya Orientalism (New York : Vintage Books, 1979). Edward Sa`id dalam Orientalism hal. 92 menyatakan,”Orientalisme adalah bidang pengetahuan atau ilmu yang mengantarkan pada [pemahaman] dunia timur secara sistematis sebagai suatu objek yang dapat dipelajari, diungkap, dan diaplikasikan.” (Muthabaqani, ibid., h.4).
Definisi lain yang lebih ideologis dikutip juga oleh Muthabaqani dari pendapat Ahmad Abdul Hamid, dalam kitabnya Ru`yah Islamiyah li Al-Istisyraq (hal. 7). Menurut Ahmad Abdul Hamid, orientalisme adalah “studi-studi akademis yang dilakukan oleh orang-orang Barat yang kafir –khususnya Ahli Kitab— terhadap Islam dan kaum muslimin, dari berbagai aspeknya : aqidah, syariah, budaya (tsaqafah), peradaban (hadharah), sejarah, sistem-sistem kehidupanya (nuzhum), kekayaaan alam, dan potensi-potensinya…” (Muthabaqani, ibid., h.4).
Dari berbagai definisi orientalisme di atas, Dr. Muthabaqani sendiri akhirnya mendefinisikan orientalisme secara cukup komprehensif. Orientalisme, menurut Muthabaqani, adalah “segala sesuatu yang bersumber dari orang-orang Barat, yaitu dari orang-orang Eropa (baik Eropa Barat maupun Timur, termasuk Soviet) dan orang-orang Amerika, berupa studi-studi akademis yang membahas masalah-masalah Islam dan kaum muslimin, di bidang aqidah, syariah, sosial, politik, pemikiran, dan seni.” (ibid., h. 4).
Termasuk juga dalam orientalisme, kata Muthabaqani, adalah :
a) Segala sesuatu yang disebarluaskan oleh media massa Barat baik dengan bahasa mereka maupun bahasa Arab, melalui koran, radio, televisi, film, kartun, dan saluran-saluran luar angkasa, yang menyangkut Islam dan kaum muslimin
b) Segala sesuatu yang ditetapkan oleh para peneliti dan politisi Barat dalam berbagai konferensi dan seminar mereka, baik yang terbuka maupun yang rahasia
c) Segala sesuatu yang ditulis oleh orang Arab Kristen, seperti kaum Maronit, yang memandang Islam dengan kacamata Barat;
d) Segala sesuatu yang disebarluaskan oleh para peneliti muslim, yang belajar kepada para orientalis dan mengadopsi banyak pikiran kaum orientalis, hingga sebagian murid orientalis itu bahkan melampaui guru-gurunya dalam hal penggunaan teknik dan metode yang lazim dalam orientalisme. (Muthabaqani, ibid., h.4).

B. Pengertian Hadits
• Menurut Ahli Hadits
كل ما اثر عن الرسول من قول او فعل او تقرير او صفة سواء قبل البعثة ام بعدها
Segala yang dinukil dari Rasul baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat baik sebelum diutus (menjadi Rasul) Ataupun sesudahnya”
• Menurut Ahli Ushul
اقواله (صلى الله عليه وسلم ) وافعاله وتقاريره مما يتعلق به حكم بنا او مما يصلح ان يكون دليلا لحكم شرعى
Segala perkataan (Rasulullah) dan perbuatan, penetapan yang berpautan dengan hukum yang terkait dengan kita atau patut dijadikan sebagai dalil hukum syara’”
• Menurut Ahli Hadits
كل ما اثر ( نقل ) عن الرسول (صلى الله عليه وس؄م) من قول او فعل او تقرير او صفة خلقية خلقية او سيرة سواء اكان قبل البعثة كتحنثه فى غار حراء ام بعدها وهو مرادف بالحديث
Segala yang dinukil dari Rassulullah baik berupa perkataan,perbuatan, penetapan, sifat-sifat tabi’at atau perangai, perjalanan hidup baik sebelum diutus (menjadi Rasul) seperti gemarnya beribadah di gua Hira’ atau sesudahnya. Dengan demikian Sunnah sinonim dengan Hadits”

C. Munculnya Orientalisme
Kapan munculnya orientalisme dalam lintasan sejarah umat Islam? Nampaknya tidak mudah menjawab pertanyaan ini, karena para ahli berbeda pendapat. Sebagian ahli mempunyai pendapat masing-masing diantaranya
• Pendapat Pertama :
Munculnya Orientalis terjadi pada waktu perang Mu’tah (tahun 8 H) kemudian perang Tabuk (tahun 9) di mana terjadi kontak pertama kali antara orang-orang Romawi dengan kaum muslimin.
• Pendapat kedua :
Munculnya orientalisme berbarengan dengan kemunculan Islam itu sendiri. Barangkali argumennya adalah perhatian para pemuka agama Kristen terhadap Islam di Habasyah ketika sebagian kaum muslimin berhijrah ke sana. Selain itu, Rasulullah SAW juga pernah mengirimkan surat kepada raja-raja di sekitar Jazirah Arab, termasuk kepada Heraklius raja Romawi yang Kristen. Perang Mu`tah juga dipandang sebagai konflik militer pertama antara umat Islam dan umat Kristen. Ada juga yang berpendapat, orientalisme bermula pasca Perang Salib (abad ke-11 sampai ke-13 M), setelah bangsa Eropa yang Kristen mengalami kekalahan dari kaum muslimin, khususnya kekalahan Louis IX di kota Al-Manshurah tahun 1290-an (Muthabaqani, ibid., h. 6).
• Pendapat ketiga :
Menyatakan, orientalisme bermula dari keputusan Gereja Wina yang menyerukan dibentuknya lembaga studi untuk mempelajari bahasa Arab, Iberani, dan Suryani di sejumlah kota Eropa seperti Paris, Oxford, dan lain-lain. Namun peneliti Inggris bernama P.M. Holt menolak peristiwa itu sebagai awal orientalisme, karena keputusan gereja itu ternyata tidak dilaksanakan secara semestinya. (ibid.)
• Pendapat keempat :
Orientalis terjadi ketika meletus perang antara kaum muslimin dan kaum Nasrani di Andalus (Spanyol), terutama setelah Raja Alphonse VI menguasai Toledo pada tahun 488 H/1085 M. Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika orang-orang Barat merasa terdesak oleh penaklukan Islam, terutama setelah jatuhnya Konstantinopel (Istanbul) pada tahun 857 H/1453 M ke tangan kaum muslimin di mana kemudian mereka memasuki Wina. Orang Barat merasa perlu untuk membendung ekspansi ini, sekaligus mempertahankan eksistensi kaum Nashrani.
• Pendapat kelima :
mengatakan bahwa awal oreintalisme adalah konflik antara kaum muslimin dan Kristen di Andalusia (Spanyol) sekitar abad ke-15 M. Syaikh Musthafa As-Siba’iy cenderung pada pendapat ini (ibid.).
Dari sekian pendapat ini, mana yang lebih mendekati kebenaran? Muthabaqani mengutip pendapat Dr. Ali an-Namlah dalam kitabnya Al-Istisyraq wa Al-Adabiyat Al-‘Arabiyah hal. 31-33 yang berkata,”Bahwa semua peristiwa-peristiwa itu hanyalah tanda-tanda awal (irhashat) bagi orientalisme. Apa yang datang setelah itu dapat dianggap sebagai pendalaman ide tentang orientalisme, perluasan orientalisme, dan peningkatan perhatian terhadap orientalisme.” Jadi, titik awal yang sesungguhnya dari orientalisme adalah sejak abad ke-16 M, yakni suatu masa di mana Eropa tengah mengalami kebangkitan dengan aktivitas Reformasi Gereja, Renaissance, dan Humanisme. Sejak abad ke-16 itulah di Eropa mulai banyak karya cetak berbahasa Arab, juga mulai banyak lembaga-lembaga kajian yang mengeluarkan berbagai karya berupa buku. Pada tahun 1632 telah terbentuk lembaga studi bahasa Arab di Cambridge, dan pada tahun 1638 terbentuk pula di Oxford. (Muthabaqani, ibid.)
D. Tujuan Orientalis
Apa yang menjadi tujuan kaum orientalis dalam melakukan kegiatannya ? Jelas, tujuan-tujuan orientalis ini beraneka ragam (li al-istisyraq ahdaf muta’addidah) (Ash-Shanqary, Al-Islam wa Al-Gharb, hal. 28-29). Secara lebih terperinci, Muthabaqani dalam al-Istisyraq (h. 6-11) menerangkan tujuan-tujuan utama orientalisme, yaitu :
1) Tujuan Agama
Tak diragukan lagi, tujuan ini merupakan salah satu tujuan terpenting orientalisme. Mengapa ? Karena para pemuka Kristen melihat agama Islam mempunyai kekuatan dan magnet yang besar untuk dapat dianut orang Kristen. Maka karena kedengkiannya, para pemuka Kristen melancarkan orientalisme guna menjelek-jelekkan Islam (tasywih al-Islam) agar orang-orang Kristen menjauhkan diri dari Islam (tanfir al-nashara min al-islam).
2) Tujuan Ilmiah
Orang-orang Eropa yang mulai bangkit di abad ke-16 membutuhkan banyak inspirasi untuk kebangkitannya. Karena itulah, mereka mengkaji berbagai penemuan ilmiah yang ditemukan kaum muslimin dalam berbagai bidang pengetahuan. Ketika orang-orang Barat mengkaji suatu bidang ilmu yang sudah lebih dulu diterjuni intelektual muslim, dapat dipastikan mereka lalu menerjemahkan kitab-kitab kaum muslimin itu, dan mengadopsi kandungannya. Francis Bacon yang menulis Novum Organum (Alat Berpikir Baru) di abad ke-16, mendapatkan inspirasi cara berpikir yang empiris (induktif) dari karya-karya kaum muslimin dari masa Khilafah Abbasiyah. Sebelum itu, di Abad Pertengahan (abad ke-5 hingga ke-15 M), cara berpikir yang dominan di Barat adalah logika Aristotelian yang deduktif, yang meremehkan pengamatan empiris.
3) Tujuan Ekonomi
Pada saat Eropa mengalami kebangkitan ilmiah, pemikiran, dan industri, mereka membutuhkan bahan-bahan mentah bagi industrinya dan sekaligus membutuhkan pasar-pasar baru untuk menjual produksinya yang melimpah. Dari sinilah, negeri-negeri Islam seperti negeri-negeri Arab, Afrika Utara, dan Asia, merupakan sasaran empuk bagi mereka. Karena itulah, mereka harus mempelajari negeri-negeri Islam ini dengan mempelajari agama penduduknya, politiknya, budayanya, perekonomiannya, dan lain-lain, agar Barat tahu bagaimana cara berinteraksi (baca : menjajah) umat Islam.
4) Tujuan Politik
Orientalisme tidak dapat secara polos kita anggap terpisah dari imperialisme Barat. Bahkan keduanya saling menunjang satu sama lain. Orientalisme adalah pelayan imperialisme. Para orientalis memasok berbagai informasi kepada para penjajah berupa informasi keagamaan, bahasa, politik, ekonomi, sejarah, budaya, kekayaan alam, dan sebagainya dari negeri yang hendak dijajah.
5) Tujuan Budaya
Penyebaran budaya Barat (ats-tsaqafah al-gharbiyah) merupakan salah satu tujuan utama orientalisme. Di negeri-negeri Arab, misalnya, kaum orientalis berusaha menyebarkan bahasa-bahasa Eropa, seperti bahasa Inggris dan Perancis. Sebaliknya, mereka berusaha memusnahkan bahasa Arab yang fasih (fush-hah). Orientalis juga menyebarkan berbagai paham Barat, seperti nasionalisme dan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) di negeri-negeri Islam. (Lihat Muthabaqani, al-Istisyraq, h. 6-11; lihat juga An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyah, hal. 85-92, bab Al-Ghazw At-Tabsyiri dan bab Al-‘Ada` Ash-Shalibi).

E. Usaha yang dilakukan Orientalis
Kiat-kiat atau usaha Orientalis Dalam rangka mencapai sasarannya, yaitu melecehkan dan menggusur eksistensi Hadis, kaum orientalis melakukan kiat-kiat antara lain sebagai berikut:
a) Mengubah Teks-teks Sejarah Di antara tokoh-tokoh ulama Hadis yang menjadi incaran pelecehan Goldziher adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H). disamping dituduhnya sebagai pemalsu Hadis, Goldziher juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibnu Syihab al-Zuhri, sehingga timbul kesan bahwa al-Zuhri mengakui bahwa dirinya memang pemalsu Hadis. Menurut Goldziher, al-Zuhri mengatakan; Para penguasa itu telah memaksa kami untuk menulis Hadis. Kata ahadits dalam kutipan Goldziher tidak menggunakan “al” yang dalam bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang telah definitive (ma’rifah).
Sementara dalam teks yang asli, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa’d dan Ibn ‘Asakir, adalah al-ahadits yang berarti Hadis-hadis yang telah dimaklumi ada secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah.Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah bahwa para pejabat atau penguasa itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis yang pada saat itu sudah ada tapi belum terhimpun dalam satu buku.
Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah bahwa para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis yang pada saat itu belum ada. Dengan kata lain, al-Zuhri dipaksa oleh para penguasa itu untuk membuat Hadis-hadis palsu.
b) Membuat Teori Rekayasa Untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang dikenal sebagai Hadis adalah bukan berasal dari Rasulullah, tetapi bikinan ulama abad I dan II hijri, Schacht membuat teori tentang rekonstruksi terjadinya sanad Hadis. Teorinya kemudian dikenal dengan nama teori “Projecting Back” (Proyeksi belakang).
Menurut Schacht, hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). Ini artinya bahwa apabila bahwa apabila terdapat Hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Schacht berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para Khalifah dahulu tidak pernah mengangkat qadhi.
Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah. Kira-kira pada akhir abad I hijri, pengangkatan qadhi itu ditujukan kepada “orang-orang spesialis” yang berasal dari kalangan taat beragama. Karena jumlah orang-orang ini bertambah banyak, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok aliran fiqh klasik (madzhab). Hal ini terjadi pada awal abad pertama hijri. Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada qadhi memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas yang lebih tinggi. Karenanya, mereka tidak menisbahkan (mengaitkan) keputusan-keputusan itu kepada diri sendiri, melainkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang-orang Iraq menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada Ibrahim al-Nakha’i (w. 95 H). Pada perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh-tokoh yang lebih terdahulu, misalnya Masruq. Langkah berikutnya untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, misalnya Shahabat Abdullah bin Mas’ud. Dan pada ronde terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad Hadis menurut Prof. Dr. Joseph Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh di belakang (Projecting Back). Teori rekayasa ini bertujuan untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang disebut sanad Hadis itu adalah palsu. Begitu pula mantan atau materi Hadisnya, karena kesemuanya adalah ciptaan orang-orang belakangan.

F. Pandangan Hadits di Mata Para Orientalis
Salah satu perbedaan antara al-Qur’an dan Hadis dari sisi kesejarahannya adalah proses kodifikasi keduanya. Hadis tidaklah ditulis pada masa Rasul masih hidup sebagaimana al-Qur’an. Bahkan terdapat Hadis yang secara eksplisit melarang penulisan Hadis, Jumhur al-Ulama’ meyakini hal tersebut merupakan sikap preventif Nabi karena ditakutkan bercampur-baurnya Hadis dengan al-Qur’an. Namun berbeda dengan pendapat para orientalis, mereka berpendapat bahwa tidak adanya tulis-menulis Hadis di era awal Islam merupakan suatu kelemahan tersendiri, pasalnya, periwayatan Hadis hanya dilakukan dengan cara verbal, dan ingatan merupakan faktor kunci dari sebuah penjagaan. mereka berargumen, dari sulitnya untuk merekam semua yang dilakukan dan diucapkan Nabi selama 23 tahun di dalam ingatan, serta tidak adanya catatan resmi mengenai Hadis yang kepadanya dapat dijadikan rujukan verifikasi terhadap informasi yang disandarkan kepada Nabi, maka memungkinkan bagi sebagian orang untuk meriwayatkan Hadis dari jalan dusta. Lebih lanjut lagi, mereka memperkuat argumennya, dengan Hadis:
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta tentangku (memberikan informasi yang salah dengan menyandarkannya kepada Nabi), maka silahkan mengambil tempat yang layak di Neraka”, (terjemahan Penulis).
Hadis tersebut masih menurut mereka mengindikasikan bahwasannya sejak zaman Nabi masih hidup sudah terjadi pemalsuan Hadis. Setelah Nabi wafat, pemalsuan Hadis dianggap lebih mudah, dan untuk meneliti Hadis cenderung lebih sulit. Hal tersebut juga dilatarbelakangi oleh ekspansi Islam di berbagai wilayah, sebagian dari mereka juga banyak yang belum mendalami Islam secara menyeluruh (belum kuat kyakinannya), sehingga informasi tentang Hadis sangat dengan mudah dipalsukan, bahkan diistilahkan seperti aliran sungai yang tidak dapat lagi dibendung (Sala al-Wadi Hatta Tamma ‘ala al-Qariyy). Amin menyandarkan statemennya ini atas beberapa riwayat:
Diantaranya ialah perkataan dari Ibn ‘Abbas yang terdapat dalam Sahih al-Muslim:
إنا كنا نحدث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم إذ لم يكن يكذب عليه فلما ركب الناس الصعب والذلول تركنا الحديث عنه
“Dahulu kami sering memperbincangkan tentang Rasul saw, sebab waktu itu belum ada pemalsuan terhadap beliau, tetapi setelah orang merasa ringan berbohong, kami tidak memperbincangkan beliau lagi”.
Satu riwayat lagi yang makin memperkuat pendapatnya:
Ibn Uda’ berkata: “Ketika Abdul Karim Ibn Abi al-Auja’—seorang pemalsuHadis ditangkap untuk dibunuh ia berkata:
"لقد وضعت فيكم أربعة آلاف حديث أحرم وأحلل"
“Saya telah memalsukan Hadis kepada kalian sebanyak 4000 Hadis, didalamnya saya mengharamkan dan menghalalkan (membuat hukum-hukum baru)”
Pemalsuan Hadis tersebut tidak hanya dilakukan dengan kesengajaan, tapi ada beberapa dari “Pemalsu Hadis” yang bertujuan baik, ia hanya meriwayatkan dari apa yang mereka dengar, tanpa disadari bahwa sebenarnya periwayatan tersebut merupakan hasil falsifikasi (pemalsuan) dari generasi sebelumnya. Dengan kata lain, beberapa dari perawi Hadis tidak melakukan filterisasi dari periwayatan yang mereka terima. Bahkan ada kelompok yang menyatakan, bahwa ketika sebuah perkataan yang memiliki substansi kebaikan, dan tidak bersebrangan dengan ajaran Islam (seperti anjuran untuk melakukan kebaikan dan melarang kema’siatan), maka boleh disandarkan kepada Nabi Muhammad, sekalipun hal tersebut bukanlah Hadis Nabi
Dari beberapa keterangannya, Amin ingin memberikan informasi bahwa pemalsuan Hadis merupakan sebuah fakta sejarah, dan ini didukung dengan argumen-argumen yang menguatkan. Lebih jauh lagi, Amin mengidentifikasi beberapa faktor yang melatarbelakangi seseorang memalsukan Hadis:
1) Pertentangan Politik
Konflik antara Abu Bakar dan Ali, Ali dengan Mu’awiyyah, antara Umawiy dan ‘Abbasy, dan beberapa konflik lain dalam internal kaum muslim diduga kuat menjadi pemicu munculnya Hadis-hadis palsu. Pemalsuan tersebut termotivasi untuk saling menyerang golongan lain (musuh politik), ataupun untuk membela golongannya (resintensi). seperti halnya konflik Ali-Mu’awiyyah, kedua golongan tersebut saling membuat hadis-hadis palsu guna mendukung dan menyerang satu sama lain.
2) Perselisihan di Bidang Ilmu Kalam dan Fiqh
Amin menduga, perselisihan pendapat dalam hal perincian Ilmu Kalam yang tidak pernah dijelaskan oleh Rasul, menjadi pemicu sebagian golongan untuk memalsukan Hadis guna membangun argumentasi tentang apa yang mereka yakini dan pahami. Semisal perselisihan antara Qadariyyah dan Jabariyyah yang memperdebatkan masalah Qadha dan Qadar, mereka saling menyerang golongan lain yang tidak sepaham dengan menggunakan Hadis palsu sebagai alat legitiamasi. Begitu pula yang terjadi di kalangan Fuqaha dalam menghadapi beberapa perselisihan mengenai hukum Islam.
3) Ketundukan Para Ulama terhadap Penguasa
Amin berpandangan bahwa terdapat beberapa Ulama yang melakukan pemalsuan Hadis guna membuat suatu hukum yang sesuai dengan kegemaran serta kecocokan para penguasa. Dicontohkan sebuah riwayat yang menceriterakan Ghayyats ibn Ibrahim, suatu ketika ia masuk kepada al-Mahdi ibn al-Mansur dan didapati dia sedang mengadu burung dara, melihat hal tersebut kemudian Ghayyats meriwayatkan sebuah Hadis: “Tidak boleh mengadu hewan yang berceracak dan bersayap”. Mendengar Hadis tersebut, al-Mahdi memberikan hadiah kepada Ghayyats sebanyak 10.000 dirham. Tapi kemudian, sebelum Ghayyats pergi, al-Mahdi berkata dan bersaksi: “Saya bersaksi bahwa kamu telah berdusta atas nama Rasul, sesungguhnya Rasul tidak pernah menyabdakan dengan kata-kata “Jana>h}” (sayap), kamu hanya ingin mendapatkan hadiah dari kami.
4) Kebolehan Mengarang Suatu Hadis Oleh Beberapa Ulama
Amin mengetengahkan statemen bahwa ada beberapa golongan yang memang sengaja memalsukan Hadis tentang keutamaan-keutamaan amal, fadilah membaca surat-surat, anjuran menginggalkan perkara ma’siat, dan lain sebagainya. Sebagian dari mereka—pemalsu Hadis—memiliki i’tikad baik, guna mengajak orang lain untuk senantiasa menjalankan ibadah dan menjauhi kemaksiatan. Tapi pemalsuan Hadis dengan alasan apa pun tetaplah tidak bisa dibenarkan.
5) Kegandrungan Beberapa Golongan Terhadap Hadis
Kecendrungan (fanatisme) beberapa orang terhadap sumber utama ajaran Islam (al-Qur’an dan Hadis), menimbulkan adanya upaya untuk memalsukan Hadis. Karena mereka tidak mau menerima Ilmu pengetahuan selain dari keduanya, termasuk ijtihad para Ulama’. Mereka menganggap pengetahuan yang bernilai hanyalah al-Qur’an dan Hadis.
Mengenai sejarah Kodifikasi Hadis sendiri, Amin pun sempat menyinggungnya. Dalam catatan Amin, hingga Abad kesatu Hijriyyah berlalu, belum ada satu pun dari keempat khalifah yang berupaya untuk menuliskan Hadis. Hadis pada abad pertama Hijriyyah ditransformasikan melalui Lisan yang bersumber dari hafalan mereka masing-masing. Kemudian pada abad kedua, mulailah beberapa golongan yang mulai intens mengumpulkan terbatas yang mereka kenal dan mereka anggap benar Hadis. Mengenai hal ini, Amin mengutip pendapatnya Ibn Hajar: “Orang yang pertama kali mengumpulkan Hadis ialah al-Rabi ibn Sabih (w. 160H), dan Sa’id ibn Abi ‘Urwah (w. 156H) sampai kepada Ulama Generasi ketiga, Imam Malik mengarang Kitabnya al-Muwatta’, ‘Abd al-Malik ibn Juraih} di Makkah, al-Auza’i di Syam, Sufyan al-Saury di Kufah, Hamad ibn Salamah ibn Dinar di Basrah, usaha kodifikasi ini disusul oleh beberapa Ulama setelahnya sesuai dengan kemampuan dan kapasitas intelektual masing-masing”

G. Pengaruh-Pengaruh Orientalisme
Aktivitas orientalisme yang dilakukan di negeri-negeri Islam tentu saja menimbulkan berbagai dampak atau pengaruh yang sangat buruk dan mengerikan. Di antaranya :
a) Pengaruh Aqidah
Diantara pengaruh orientalisme, adalah pengaruh di bidang aqidah, yaitu lahirnya generasi sekuler, baik di kalangan intelektual, pemerintah, militer, maupun orang awam di Dunia Islam. Mereka semuanya menjadi satu arus dan trend yang meneriakkan pemisahan agama dari kehidupan, atau yang dalam bahasa Arab disebut al-‘ilmaniyah (tepatnya : as-sikulariyah). Padahal aqidah ini sangat bertolak belakang dengan Aqidah Islam, sebab Aqidah Islam terikat (bukan terpisah) dengan segala bidang kehidupan, dengan seperangkat hukum-hukum Syariahnya.
Pengaruh lainnya, adalah merebaknya kecenderungan terhadap ide-ide marjinal yang menyimpang dari Aqidah Islam, seperti tashawwuf Ibnu ‘Arabiy (Wihdatul Wujud) yang mendapat perhatian khusus dari kalangan orientalis.
b) Pengaruh Sosial
Kaum orientalis karena didorong kebenciannya terhadap Islam dan umat Islam, berusaha mencari faktor yang dapat merusak soliditas masyarakat muslim. Contohnya, di Aljazair, orientalis menghapuskan kepemilikan umum (atas tanah publik) yang akhirnya membuat terpecah belahnya beberapa kabilah. Padahal sebelumnya mereka hidup rukun dan damai dengan konsep kepemilikan umum yang ada dalam ajaran Islam. Pengaruh sosial lainnya adalah terancamnya keutuhan keluarga, karena kaum orientalis menaruh perhatian besar pada ide-ide gender dan feminisme yang membodohi sekaligus memprovokasi kaum muslimah untuk memberontak terhadap hukum-hukum Islam tetang pengaturan keluarga (misalnya masalah ketaatan kepada suami, nafkah, dan hak cerai).
c) Pengaruh Politik-Ekonomi
Orientalis misalnya mempropagandakan sistem demokrasi dan dikatakannya sebagai sistem politik paling ideal untuk umat manusia. Pada saat yang sama, mereka menyerang dan menjelek-jelekkan sistem politik Islam, yaitu Khilafah. Thomas W. Arnold, misalnya, dalam bukunya Caliphate (Lahore: 1966) hal. 25, menuding bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab dapat menjadi khalifah, lantaran keduanya telah melakukan suatu persekongkolan. Orientalis lain, Bernard Lewis, menyatakan bahwa sistem politik Islam adalah sistem diktator yang memaksakan ketundukan dan kehinaan atas bangsa-bangsa muslim. Bahkan lebih dari itu, Bernard Lewis menganggap sistem politik Islam menyerupai sistem komunis dalam hal kediktatoran dan kesewenang-wenangannya (Lihat B. Lewis,”Communism and Islam,“ dalam International Affairs, Vol. 30, 1954.pp 1-12).
Sementara itu dalam bidang ekonomi, orientalis mempropagandakan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Pada saat yang sama, mereka menyerang sistem ekonomi Islam. Muhammad Khalifah mengatakan,”Kaum orientalis dalam aksi mereka mempropagandakan sistem ekonomi Barat, melakukan penafsiran ulang terhadap sejarah ekonomi Islam dengan perspektif kapitalisme dan komunisme sebagai dasar untuk kedua sistem tersebut…” (Muthabaqani, ibid, h. 16)
d) Pengaruh Budaya-Pemikiran (tsaqofiyah-fikriyah)
Sungguh kaum orientalis telah memetik kemenangan besar di bidang budaya dan pemikiran di Dunia Islam. Buktinya, cara pandang atau perspektif orientalis telah menjadi sumber pemahaman bagi umat untuk memahami Islam, setelah sebelumnya umat Islam hanya menggunakan cara pandang dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, menurut tuntunan para ulama muslim. Umat Islam kini meyakini demokrasi, sebagai ganti dari keyakinan terhadap sistem politik Islam (Khilafah). Umat Islam lebih meyakini sistem ekonomi kapitalisme, daripada sistem ekonomi Islam. Demikian pul` cara pandang orientalis di bidang ilmu sosiologi, psikologi, sejarah, dan sebagainya telah mengisi, memenuhi, sekaligus meracuni otak generasi muda Islam, yang sebelumnya terisi dengan pemikiran-pemikiran Islam yang cemerlang. (Muthabaqani, ibid, h. 17).











PENUTUP
Itulah sekilas tentang orientalisme. Yang kami tulis ini tentu hanya sekelumit saja, di tengah sekian banyak literatur cerdas yang menerangkan bahaya orientalisme yang sudah semestinya kita waspadai. Janganlah terlalu polos dan lugu, dengan menganggap kajian orientalis adalah objektif dan ilmiah. Perluaslah wawasan! Bersikap kritislah terhadap orientalisme! Bibliografi yang kami tulis di bawah ini barangkali dapat sedikit memberikan inspirasi mengenai apa yang kiranya perlu dibaca untuk mendalami masalah ini.
Kami ingin menutup uraian sederhana ini dengan mengutip ayat dan hadits yang memberi pedoman kepada umat Islam, hendaknya mereka tidak mengikuti kaum orientalis yang kafir. Allah SWT berfirman :
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (120)
(artinya) : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS Al-Baqarah [2] : 120)
Rasulullah SAW bersabda :
“Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan [hidup] orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga kalau mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kamu pun akan mengikuti mereka. Para sahabat bertanya,”Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?” Rasul SAW menjawab,”Siapa lagi?” (HR Bukhari dan Muslim).





DAFTAR PUSTAKA
1. Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan As-Sunnah: Referensi Tertinggi Umat Islam,terj. Bahruddin Fannani, (Jakarta: Robbani Press, 1997)
2. Husain Yusuf, “Abu Hurairah Dan Peranannya Dalam Periwayatan Hadis” dalam Yunahar Ilyas dan M.Mas’udi (ed.), Kajian Al-Quran Dan Hadis (cet. I; Yogyakarta Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1994)
3. G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), Terj. Ilyas Hasan, (Bandung : Mizan, 1999)
4. M.T.T Abdul Muin, Kata Pengantar dalam Terjemahan Fajrul Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar