RSS

MAKALAH IJMA' SEBAGAI SUMBER HUKUM

KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الر حيم
الحمد لله رب العالمين. نحمده ونستعينه , ونستغفره من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا , أشهد أن لا اله الله وأشهد أن محمدا عبده رسوله , أللهم صل علي سيدنا محمد عبدك ورسولك النبي الأمي وعلي أله وصحبه وسلم تسليما بقد ر عظمة داتك في كل وقت وحين . أما بعد :
Alhamdulillahi robbil ‘alamin segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberikan rohmat, hidayah dan inayahNya pada kita semua sehingga sampai saat ini kita semua masih dalam keadaan sehat kuat dan yang terpenting dalam keadaan iman dan islam.
Sholawat dan salam semoga tetap terhaturkan pada junjungan kita nabi agung, penebar rohmat dan penyebar benih kesucian cinta Yaitu Nabi Muhammad SAW. Pun kepada keluarga, para sahabat, tabi,in dan semua kaum muslimin muslimat.
Alhamdulillahirobbil ‘alamin penulis beserta crew-crewnya bisa menyelesikan penulisan makalah yang berjudul “ IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM “ ini tentunya berbekal pada keyakinan dan kemantapan dan yang terpenting taufiq , hidayah dan ma’unah dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan makalah ini. Baik dari segi bahasa, terjemah atau uslub-uslub yang ada. Maka dari itu penulis sangat berharap saran,masukan serta bimbingan dari para pembaca untuk menyumbangkan idenya, partisipasinya dan pikiran-pikirannya
Akhirnya kami hanya mohon pada Allah SWT semoga makalah ini memberi manfa’at pada kita semua dan khususnya pada semua Mahasiswa STAI BU tambakberas Jombang. Sehingga dapat mengantar dan mengkader jiwa-jiwa pemuda yang bermanfa’at,berguna bagi masyarakat bangsa dan Negara. Aamiin ya Robbal “alamin.
Jombang, 1 November 2011
Penulis




DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Sumber-sumber fiqih islam 4
I. Al-Qur’an 4
II. As-Sunnah 5
III. Ijma’ 5
IV. Qiyas 6
BAB II PEMBAHASAN
IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
A. Pengertian Ijma’ 7
B. Dasar Hukum Ijma’ 8
C. Rukun-rukun Ijma’ 9
D. Kemungkinan terjadinya Ijma’ 10
E. Macam-macam Ijma’ 12
G. Obyek Ijma’ 14
H. Ijma’ sebagai sumber islam 14
I. Syarat Mujtahid 17
J. Kehujjahan Ijma’ 20

BAB III PENUTUP
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
A. SUMBER-SUMBER FIQIH ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
AL QUR’AN
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :
a) Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah swt: (QS. Al maidah : 90)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
b) Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah : 275).
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.


AS SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
• Contoh perkataan/sabda Nabi :
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)
• Contoh perbuatan:
apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:
“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
• Contoh persetujuan :
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:
“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
IJMA’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan” (Tirmidzi no.2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
QIYAS
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.







BAB II
PEMBAHASAN
IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

A. Pengertian Ijma’
Ijma' secara bahasa adalah ( العزم والاتفاق ) Niat yang kuat dan Kesepakatan. Dan secara istilah berarti ;
اتفاق مجتهدي هذه الأمة بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم على حكم شرعي
"Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Muhamad Shollallahu 'alaihi wa-sallam terhadap suatu hukum syar'i."
AL-ijma’ menurut bahasa artinya adalah sepakat, sedang menurut istilah kesepakatan umat nabi Muhammad setelah sepeninggalnya beliau dalam sebuah masa dari beberapa masa mengenai perkara dari berbagai macam perkara.
Penjelasan :
1. ( اتفاق ) "kesepakatan" yaitu adanya khilaf walaupun dari satu orang, maka tidak bisa disimpulkan sebagai ijma'.
2. ( مجتهدي ) "Para mujtahid" berarti orang awam dan orang yang bertaqlid, maka kesepakatan dan khilaf mereka tidak dianggap sebagai ijma'.
3. ( هذه الأمة ) "Ummat ini" adalah Ijma' selain mereka (ummat Islam), maka ijma' selain mereka tidak dianggap.
4. ( بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم ) "Setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah kesepakatan mereka pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak dianggap sebagai ijma' dari segi keberadaannya sebagai dalil, karena dalil dihasilkan dari sunnah nabi Shallallahu 'alaihi wasallam baik dari perkataan atau perbuatan atau taqrir (persetujuan), oleh karena itu jika seorang shahabat berkata : "Dahulu kami melakukan", atau "Dahulu mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ", maka hal itu marfu' secara hukum, tidak dinukil sebagai ijma'.
5. ( على حكم شرعي ) "terhadap hukum syar'i" yaitu kesepakatan mereka dalam hukum akal atau hukum kebiasaan, maka hal itu tidak termasuk disini, karena pembahasan dalam masalah ijma' adalah seperti dalil dari dalil-dalil syar'i.
B. Dasar Hukum Ijma’
1) Ijma’ merupakan hujjah, dengan dalil-dalil diantaranya :
Firman Allah :
وكَََذلِك جعلْنا ُ كم أُمةً وسطاً لِتكونوا شهداءَ علَى الناسِ
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." [QS. Al-Baqoroh : 143]
Maka firmanNya : "Saksi atas manusia", mencakup persaksian terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan hukum-hukum dari perbuatan mereka, dan seorang saksi perkataannya diterima.

2) Firman Allah :
فَإِنْ تنازعتم فِي شيءٍ فَ ردوه إِلَى ا؄لَّهِ والرسولِ
"Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya." [QS. An-Nisa' : 59]
Menunjukkan atas bahwasanya apa-apa yang telah mereka sepakati adalah benar.

3) Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ تجتمِع أُمتِي علَى ضلاَلَةٍ
"Umatku tidak akan bersepakat diatas kesesatan"
4) Akal pikiran

Setiap ijma` yang dilakukan atas hukum syara`, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

C. Rukun-rukun ijma`
Dari definisi dan dasar hukum ijma di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma sebagai berikut:
1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma`, karena ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma`.
3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.
D. Kemungkinan terjadinya ijma`
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:
1. Periode Rasulullah SAW;
2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
3. Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur`an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an yang diturunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Setelah enam tahun kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Umayyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijma` tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
2. Ijma` mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman dan Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.
Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma`, yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal `aqdi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka. Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
E. Macam-macam ijma`
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.



Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
1. ljma`bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
2. Ijma`sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma` `itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
1. ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma`-ijma` itu ialah:
1. Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma` tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3. Ijma`shaikhan, yaitu ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4. Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma` ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki.
5. Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
F. Obyek ijma`
Obyek ijma` ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur`an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu`amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur`an dan al-Hadits

G. Ijma’ sebagai Sumber Hukum Islam
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
عنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ،أَنّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَال أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَال فَضَرَب رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَال الْحَمْدُ لِلَّه الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.
Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan. Karena itu, pembahasan ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum saja yaitu ijma’ dan qiyas.
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya.
Sebagaimana firman Allah Swt:
فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلا تُنْظِرُونِ
“karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1) Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
2) Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3) Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4) Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.

H. Mujtahid
Berbicara Ijma’ (kesepakatan Ulama’ tentutidak akan perna terlepas dari yang namanya Ijtihad. Karena ulama’ yang dimaksud adalah para mujtahid-mujtahid itu sendiri, maka dalam uraian berikut akan kami paparkan tentang apa dan bagaimana kah ijtihad itu, ?,
1) Pengetian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata ”al-jahdu” atau “al-juhdu” yang berarti daya upaya atau usaha keras. Secara luas ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Atau dengan pengertian lain ijtihad berarti berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu.
2) Dasar hukum ijtihad
Dasar hukumnya :
• Firman Allah :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأنْفَالِ قُلِ الأنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya : Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman" (al-Anfal : 1 )
• Hadits Rosulullah :
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ،أَنّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَال أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَال فَضَرَب رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَال الْحَمْدُ لِلَّه الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.

3) Ruang lingkup ijtihad
Dari segi dalil (sumber hokum), secara luas hokum islam itu terklasifikasikan menjadi empat macam:
a. Hukum islam yang telah ditegaskan oleh dalil qoth’I (al-Qur’an dan al-Hadits yang tidak mengandung penakwilan atau penafsiran)
b. Hukum islam yang telah ditegaskan oleh dalil dhoni (al-Qur’an dan al-Hadits yang mengandung penakwilan atau penafsiran)
c. Hukum islam yang disepakati oleh para ulama’ ( sebagai ijma’ )
d. Hukum islam tentang sesuatu yang yang sama sekali belum ditegaskan tau disinggung al-qur’an, al-hadits dan ijma’.

4) Syarat-syarat Mujtahid :
Menurut Dr. Qordlowi secara garis besar mengemukakan syarat-syarat mujtahid yang juga telah disepakati ulama’, diantaranya :
1. Harus mengetahui al-Qur’an
2. Mengetahui ulumul qur’an, yang meliputi :
a. Mengetahui sebab-sebab turunya ayat
b. Mengetahui sejarah pengumpulan al-qur’an
c. Mengetahui ayat makiyyah dan madaniyyah
d. Mengetahui ayat nasikh dan mansukh
e. Mengetahui ayat muhkam dan mutasyabih
f. Menguasai ilmu tafsir
3. Mengetahui as-sunnah dan ilmu hadits
4. Mengetahui bahasa arab
5. Mengetahui tema-tema yang sudah merupakan ijma’
6. Mengetahui ushul fiqh
7. Megetahui maksud-maksud sejarah
8. Mengetahui manusia dan alam sekitarnya
9. Mempunyai sifat adil dan taqwa
Dan sebagian ulama’ ada yang menambahi :
• Mengetahui ilmu ushuluddin
• Mengetahui ilmu mantiq
• Mengetahui cabang-cabang fiqih

5) Tingkatan Mujtahid
Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa tingkatan mujtahid terbagi atas :
a. Mujtahid Muthlaq / mujtahid tam
Yaitu mujtahid yang memiliki yang memiliki ilmu pengetahuan yang lengkap untuk beristinbath dengan al-qur’an dan al-hadits dengan menggunakan kaidah mereka sendiri dan diakui kekuatannya oleh para imam yang lain.
b. Mujtahid Muntashib
Yaitu mujtahid yang terkait dengan imamnya. Hal ini biasa dilakukanoleh para murid mujtahid yang menentukan hokum furu’ yang berbeda dengan hokum furu’ gurunya.
c. Mujtahid fil madzhab
Yaitu mujtahid yang mengikuti imamnya baik pada hokum ushul atau pun hokum furu’nya dengan menggunakan kaidah yang sudah dipakai imanya.
d. Mujtahid tarjih
Yaitu mujtahid yang mampu menilai, memilah dan memilih pndapat berbagai imam untuk meenemukan mana yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada tanpamenyimpang dari hokum syaa’

I. Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
















DAFTAR PUSTAKA

1) "Usul Fiqh", oleh A. Hanafie, M.A., Cetakan ketiga 1962, halaman 125-128
2) Ref : Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, Asy-Syaikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, tholib.wordpress.com
3) Keputusan Muktamar NU ke-30 di pondok pesantren Lirboyo Kediri
4) Ghoyatul wushul oleh Syeh Zakariyah al-Anshori
5) Luthfillah Khuluq. Fajar Kebangunan Ulama’, Biografi KH. M.Hasyim Asyari.LKiS
6) Al-Waroqot
7) Pendidikan Aswaja ke-NU-an

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar