RSS

MAKALAH IJTIHAD

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dengan semakin berkembangannya zaman, penggunaannya kata ar-ra’yu semakin melebar dan menyimpang dari maksud asli penggunaannya pada masa lalu . Ar-ra’yu sering dipakai dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran atau dalam aktivitas ijtihad untuk menggali hukum-hukum syariat dalam berbagai perkara yang dihadapi oleh kaum Muslim. karena penggunaan akal secara bebas dan meluas sehingga akal dipandang boleh menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuka hati dan seluas-luasnya. Begitu pula dalam aktivitas penggalian hukum, akal sering secara bebas mengeluarkan dan menghasilkan produk-produk hukum yang amat ganjil dan menyimpang dari maknanya.
2. Rumusan Masalah
Agar makalah ini tidak keluar dari permasalahannya, maka penulis hanya membahas tentang:
1) Pengertian Ra’yu
2) Pengertian Qiyas
3) Unsur-unsut Qiyas
4) Kedudukan Qiyas sebagai dalil
5) Pengertian Istihsan
6) Macam-macam Istihsan
7) Kekuatan istihsan sebagai hujjah
8) Alasan Ulama yang tidak berhujjah dengan Istihsan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Ra’yu
1. Pengertian Ra’yu
Menurut bahasa, ar-ra’yu artinya melihat, pikiran, pendapat, pemahaman dan akal budi. Sedangkan menurut istilah syara’, Ra’yu berarti penggunaan akal secara bebas dan meluas dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan penggalian hukum islam.
Kata ar-ra’yu sering dipakai dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran atau dalam aktivitas ijtihad untuk menggali hukum-hukum syariat dalam berbagai perkara yang dihadapi oleh kaum Muslim. Dengan semakin berkembangannya zaman ini, penggunaannya kata ar-ra’yu semakin melebar dan menyimpang dari maksud penggunaannya pada masa lalu.
Para intelektual Muslim saat ini memaknai ar-ra’yu sebagai penggunaan akal secara bebas dan meluas sehingga akal dipandang boleh menafsirkan ayat-ayat al-Quran sesuka hati dan seluas-luasnya. Begitu pula dalam aktivitas penggalian hukum, akal sering secara bebas mengeluarkan dan menghasilkan produk-produk hukum yang amat ganjil dan menyimpang dari maknanya. Mereka berdalih bahwa Allah Swt. telah menciptakan akal untuk manusia, sementara fungsi akal adalah untuk berfikir sehingga mereka bebas dalam menafsirkan dan mengeluarkan hukum. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa al-Quran perlu ditafsirkan secara bebas, karena al-Quran diturunkan dengan latar belakang masyarakatn yang berbeda dengan masa sekarang. sehingga di anggap perlunya ada perubahan makna.
Buah pikiran manusia mengenai permasalahan hukum itu, disebut dengan ijtihad dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum pelengkap, ketika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini ada dua kaidah yang dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan ar-ra’yu sebagai sumber hukum islam pelengkap, yaitu:
1) Jika hukum tidak ada nasnya dalam Al-Qur’an dan as-sunnah, tetapi para mujtahid sepakat atas suatu hukum hasil ijtihad itu untuk dijadikan sumber hukum. Maka semua kaum muslimin wajib menjalankannya.
2) Jika hukum yang tidak ada nasnya, baik qat’i maupun dzanni dan para mujtahid tidak sepakat atas hasil ijtihad, maka kaum muslimin secara keseluruan tidak wajib melaksanakannya, akan tetapi wajib bagi mujtahid dan orang-orang yang meminta fatwa kepada para mujtahid tersebut.
Orang yang intens mendalami sumber-sumber tafsir al-Quran akan menjumpai bahwa salah satu sumber tafsir adalah (tafsir) ar-ra’yu, yaitu apa yang disebut dengan ijtihad dalam tafsir. Ini muncul karena al-Quran itu diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Karena itu, untuk mengetahui maksud dan makna-maknanya secara benar, seorang ahli tafsir harus mengetahui kata-kata bahasa Arab, seluk-beluk percakapan bahasa Arab terdahulu, berbagai ungkapan Arab dan makna-maknanya dengan cara memahami teks-teks yang ada seperti percakapan-percakapan yang ada dalam syair jahiliah, prosa, dan lain-lain, juga sebab-sebab turunnya ayat. Ahli tafsir memerlukan sarana-sarana tersebut untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan pemahaman dan ijtihadnya.
Jadi, yang dimaksud dengan tafsir bi ar-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasul, menyangkut perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan, juga menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya (ayat-ayat) al-Quran. Dengan demikian, tafsir bi ar-ra’yi adalah tafsir dengan cara memahami berbagai kalimat al-Quran melalui pemahaman terhadap madlul (pengertian)-nya, yang ditunjukkan oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir.
Sementara itu, riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a. yang pernah berkata, “Al-Quran itu mengandung segala bentuk,” tidak bisa dimaknai bahwa al-Quran itu mengandung bentuk apa saja dan bisa ditafsirkan sekehendak manusia. Yang beliau maksudkan adalah bahwa suatu kata atau kalimat dalam bahasa Arab mengandung banyak bentuk penafsiran. Akan tetapi, bentuk-bentuk tersebut diikat oleh makna-makna tertentu yang diemban oleh kata atau kalimat tersebut. Berdasarkan hal ini, tafsir bi ar-ra’yi merupakan ungkapan pemahaman terhadap suatu kalimat dalam batasan makna-makna yang dikandung oleh kata-katanya. Oleh karena itu, para mufassir menyebutnya dengan tafsir bi al-ijtihad.
Contoh penggunaan tafsir bi ar-rayi tampak dalam penafsiran kata ath-thur pada firman Allah berikut:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ
(Ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami mengangkat gunung (Thursina) di atasmu. (QS al-Baqarah [2]: 63)
Mujahid menafsirkan ath-thur dengan al-jabal (gunung). Ibn ‘Abbas menafsirkannya dengan (nama) gunung itu sendiri. Sementara itu, yang lain mengatakan bahwa ath-thur adalah apa yang berserakan dari gunung-gunung; yang tidak berserakan bukanlah ath-thur. Jadi, perbedaan dalam penafsiran merupakan hasil dari perbedaan dalam pendapat (ra’yu) yang bertumpu pada ilmu, yaitu berbagai pengertian yang masih dalam batas-batas bahasa Arab. Para ahli tafsir mencegah seseorang untuk berkomentar tentang al-Quran dengan pendapat (ra’yu)-nya tanpa didasarkan pada ilmu, yang dapat menjerumuskannya pada kesesatan.
Di samping dalam tafsir, kata ar-ra’yu juga digunakan dalam ijtihad. Sebagian mujtahid mengikatkan diri dengan pemahaman ‘ibarat (ungkapan) yang terdapat dalam nash syariat dan selalu berhenti pada batasan makna-makna yang ditunjukkannya. Mereka mengaitkannya dengan makna-makna tersebut. Mereka disebut dengan ahl al-hadîts (ahli hadis). Sebagian lainnya melihat apa yang ditunjukkan oleh ungkapan yang terdapat dalam nash, yakni berupa makna-makna yang dapat dijangkau oleh akal sebagai tambahan atas makna-makna kata. Mereka disebut dengan ahl ar-ra’yi.
Dari sini kebanyakan orang mengatakan bahwa para mujtahid terbagi menjadi dua bagian: ahl al-hadits dan ahl ar-ra’yi. Pembagian ini bukan berarti bahwa ahl ar-ra’yi tidak mau mengambil hadis sebagai sumber tasyri‘ (legislasi hukum). Demikian pula sebaliknya; bukan berarti bahwa ahli hadis tidak mau mengambil ar-ra’yu sebagai sumber dalam tasyri‘ mereka. Semuanya mengambil hadis dan ra’yu karena mereka sepakat bahwa hadis adalah hujjah syar‘i, sementara ijtihad didasarkan pada ar-ra’yu yang diperoleh dengan cara memahami maksud nash.
B. Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa adalah, ukuran, perbandingan, pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.
Sedangkan menurut istilah ahli ushul fiqih adalah, menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum,sebab di anggap sama dalam illat hukumnya.
2. Unsur-unsur Qiyas
Teori Qiyas tidak dapat dilakukan tanpa memenuhi 4 unsur yang harus ada didalamnya:
a) Asal (kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya,baik nash atau ijma’)
b) Far’ (kasus baru yang sedang di cari solusinya)
c) Hukum asal (norma hukum yang sudah ada oada asal)
d) ‘Illat (sifat hukum yang menjadi pedoman pokok ditetapkannya hukum pada asal)
3. Kedudukan Qiyas sebagai Dalil
Dalam menempatkan Qiyas sebagai dalil untuk mengistimbatkan hukum, ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama menerima dan menggunakan Qiyas sebagai dalil dalam urutan ke-empat, yaitu sesudah Al-Qur’an, sunnah dan Ijma’. Tugasnya Qiyas di gunakan ketika tidak di temukan hukum tentang suatu peristiwa di dalam al- Qur’an, sunnah dan ijma’, sedangkan peristiwa itu memiliki illat yang sama dengan kasus yang telah di tetapkan dalam al-Qur’an, suuan atau melalui ijma’.
C. Istihsan
1. Pengertian Istihsan
Istihsan dalam bahasa, berasal dari kata dasar Hasana artinya baik atau indah. Sedangkan menurut istilah:
الاستحسان هو انه العدول بامسألة عن حكم نظائر ها الى حكم أخر لوجه اقوى منه (ابو الحسن الكرحى)
Istihsan adalah, berpindah dari sesuatu hukum yang sudah di berikan kepada sebandingnya atau hukum lain,lantaran adanya suatu sebab yang di pandang lebih kuat atau lebih baik.
2. Macam-macam Istihsan
Dari pengertian istihsan secara syara’, dapat ditarik kesimpulan bahwa istihsan itu ada 2:
1) Mengunggulkan Qiyas yang tersembunyi atas Qiyas yang nyata dengan suatu dalil.
2) Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
3. Kekuatan Istihsan sebagai Hujjah.
Pada Hakikatnya, Istihsan Bukanlah Sumber hukum yang berdiri sendiri, karena dalil hukum dari bentuk istihsan pertama adalah Qiyas yang tersembunyi yang di unggulkan dari pada Qiyas yang nyata, Sebab hal-hal tertentu yang di anggap oleh mujtahid lebih unggul.
Sedangkan dalil hukum dari bentuk istihsan yang kedua adalah kemaslahatan, menuntut adanya pengecualian bagian tertentu dari hukum umum.
4. Alasan Ulama yang tidak berhujah dengan Istihsan.
Sebagian kelompok mujtahid mengingkari kebenaran istihsan, mereka menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri.
Di antara Tokohnya adalah imam Syafi’i, seperti telah di nukil darinya: “siapa yang menggunakan istihsan berarti ia membuat syari’at, artinya orang itu membuat hukum syari’at sendiri” di tetapkan dalam Risalah ushuliyah nya.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Buah pikiran manusia mengenai permasalahan hukum itu, disebut dengan ijtihad dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum pelengkap, ketika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam menempatkan Qiyas sebagai dalil untuk mengistimbatkan hukum, ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama menerima dan menggunakan Qiyas sebagai dalil dalam urutan ke-empat, yaitu sesudah Al-Qur’an, sunnah dan Ijma’. Tugasnya Qiyas di gunakan ketika tidak di temukan hukum tentang suatu peristiwa di dalam al- Qur’an, sunnah dan ijma’, sedangkan peristiwa itu memiliki illat yang sama dengan kasus yang telah di tetapkan dalam al-Qur’an, suuan atau melalui ijma’
Istihsan adalah, berpindah dari sesuatu hukum yang sudah di berikan kepada sebandingnya atau hukum lain,lantaran adanya suatu sebab yang di pandang lebih kuat atau lebih baik.
2. Saran
Janganlah menggunakan ar-ra’yu sebagai penggunaan akal secara bebas dan meluas sehingga akal dipandang boleh menafsirkan ayat-ayat al-Quran sesuka hati dan seluas-luasnya. Begitu pula dalam aktivitas penggalian hukum, sehingga akal sering secara bebas mengeluarkan dan menghasilkan produk-produk hukum yang amat ganjil dan menyimpang dari maknanya.



DAFTAR PUSTAKA

Drs. Muhammad Ma’shum Zein,MA ilmu ushul fiqih, (jombang,darul Hikmah Jombang,2008) hal:211-213
Drs. H. Mahrus As’ad, M.Ag, Drs, A. Wahid sy, M.Ag. memahami fiqih, (Bandung, AMRICO,2006)hal:81.
http:// asaku09.blogspot.com/2010.11.01archive.html.
prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf,ilmu ushul fiqih terjemah, Darul Qalam,Kuwait,2003

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar