RSS

Tentang Penulis


PROFIL PEMILIK BLOGGER

A.   Latar Belakang Keluarga
         
          Di daerah pedalaman kota Tuban, yang jauh dari keramaian , yang masih murni daerah pedesaan, sebuah daerah yang dikelilingi empat muara pencarian sandang pangan, lautan, hutan, pegunungan dan lahan sawah dan perikanan ( tambak ) tepatnya di pelosok desa Mlangi kec Widang Kab Tuban. Lahirlah seorang anak kecil , mungil dan calon penerus keluarga, Ustadz Moh Ali Ridwan bin Supardi bin Sagi bin Sarimo bin Kasira pada Kamis legi malam 2 Muharrom 1408 H / 27 September 1987 pukul 21.00 WIB.
          Dari jalur lain penulis adalah keturunan kyai dan Mudin kondang di desa itu, yang bersilsilah Moh Ali Ridwan bin Supardi bin Kona binti Mudin Sulaiman.
          Ayahanda Beliau adalah seorang santri salaf yang mata pencahariaan kesehariannya adalah petani. Sifat Zuhud dan sifat jujurnya sang Ayah lah yang tidak bisa kita pungkiri kehebatannya sehingga putra pertamanya seperti yang kita ketahui ini. Dalam menjalani pekerjaannya sang Ayah sangat konsekuen, saat jadi Kuli atau buruh Ia selalu menjalani sesuai dengan syari’at islam yang umumnya di desa tersebut sudah tidak lagi dihiraukan. Pada umumnya buruh itu berangkat ke sawah pukul 06.00 dan pulang pukul 17.00 dengan istirahat sholat dhuhur secukupnya, akan tetapi kebudayaan tersebut seakan puna di daerah-daerah itu. Para buruh cenderung korupsi waktu baik waktu brangkat  istirahat dan pulangnya.
          Namun sang Ayah lain daripada buruh-buruh yang lain, sehinga banyak para juragan yang suka dan ingin mempekerjakannya. Dan dari titik ketawadlu’an pada sang guru, pada sang Kyai , ayahanda cenderung secara totalitas mencurahkan ketawadlu’anya, sehingga walau bekerja sbagai buruh di sawah Pak Yai  sang Ayah tidak lah pernah menuntut upah.
          Dari Ayah tersebutlah tidak heran jika di lahirkan sesosok seperti al-Ustadz Ali atau biasa dipanggil ustadz Duan, bahkan populernya dengan panggilan Mbah Duan.

B.   Sejarah Pendidikan
          Ditengok dari kacamata pendidikan dan pembelajaran, penulis tidak jauh beda dengan anak-anak sezamannya. Akan tetapi orang tua memberikan pendidikan yang lebih pada penulis . sebelum menginjakkan kaki di bangku TK ( taman kanak-kanak ) penulis sudah dibekali berbagai ilmu oleh orang tuanya. Sang ayah adalah orang tua yang keras dalam hal pendidikan. Semua jadwal anak pertamanya ini di tata sedemikian rupa mulai bangun tidur, membantu orang tua di sawah, belajar, mengaji dan ngumawulo pada Sang Guru Agung KH. Abdul Mukti kyai desa Mlangi.
          Begitu disiplinnya masa hidup sang penulis maka tidak heran jika penulis pun punya watak yang keras terutama dalam ngaji, dan belajar.
          Penulis adalah siswa yang tertinggal di kala itu. Karena pertimbangan orang tua terhadap kemampuan si Penulis sehingga dalam usia ke-6 tahunnya beliau belum masuk dalam pendidikan TK , baru dalam usia ke – 7 beliau masuk sehingga secara hitungan rata-rata usia si penulis 1 tahun tertinggal dengan anak-anak yang lain.
          Mulai saat itulah tampak nyata bakat dan kehebatan sang penulis, mulai pendidikan TK sampai Pendidikan Dasar ( SD ) penulis selalu meraih label siswa terbaik. Sampai tingkat Madrasah Tsanawiyah Darul Ulum II selama tiga tuhun penulis juga masih menduduki urutan pertama, sampai pada ujian akhir tingkat Mts.
          Dari segi pendidikan agama, sang ayah justru lebih menekankannya, terutama dalam hal ngaji-mengaji. Tiap hari ada jadwal khusus bagi sang anak untuk jadi muadzin di musholla pak yai. Sekitar tahun 1997/1998 penulis mulai memasuki jenjang pendidikan TPA ( taman pendidikan Al-Qur’an ) kemudian Diniyyah dan sorokan pada pak Yai dan para asatidz. Pun tidak kalah hebatnya , bakat dan kecerdasan sang penulis mulai bermunculan satu persatu, dalam tiap moment penting dalam perjalanannya selalu beliau gapai hasil yang baik dan sempurna. Dalam tiap lomba pidato beliau selalu meraih juara satu dan seterusnya.
          Bagi sang Ayah , melihat sekelumit perjalanan si anak ( penulis ) yang naik berkembang dengan sempurna beliau hanya tersenyum bahagia , akan tetapi tidak sampai situ saja. Sang Ayah menaruh cita-cita tinggi dalam diri si anak. Beliau selalu berpesan pada anaknya, “ jadilah orang yang lebih hebat dari bapak “ dan “ janganlah kamu berfikir bekerja atau membiayai orang tua tanjakkan kakimu dan raih lah cita-citamu “. Begitu singkat dan jelas pesan sang ayah kepada penulis.
          Singkatnya, sang ayah memasrahkan langkah si penulis pada Pak Yai. Disinilah awal mulai perjalanan sang penulis di dunia luar. Seperti maqolah imam Syafi’I “ belum sempurna seorang penuntut ilmu sebelum ia memberanikan diri berpisah dari keluarga dan menuntut ilmu di daerah luar”.
Perjalanan penulis terukirdan mulai menapak di dunia pesantren. Melewati sang guru Syeh Afandi penulis dikirim ke sebuah daerah yang unik, di sebuah pesantren Kyai Sufi di daerah Petengan ,tepatnya utara Tambakberas yang berpusat Pondok Pesantren terbesar di Jombang yaitu Bahrul Ulum.
    Sekilas jika ditengok dari Sejarah Sekitar tahun 1991 masehi. Di sebuah dusun kecil di tengah – tengah antar Tembelang dan Tambak beras. Tepatnya di petengan tembelang jombang datang seorang Kyai muda yang tampan dan gemilau pikirannya, beliau bernama kyai Imron Djamil. Kedatangannya di desa itu semula ingin mencari rumah kontrakan sebagai tempat tinggal beliau sekaligus istri tercintanya (ibu nyai Hj Dra Titi Maryam ). Mengingat beliau baru saja usai merantau dan menuntut ilmu di KH Moh Jamaludin Ahmad tambak beras sekaligus lulusan pendidikan – pendidikan formal di Tambak beras seperti MIBU, MMABU, STITBU maka beliaupun tidak mau jauh – jauh dari Tambakberas. Pun juga beliau masih melanjutkan pendidikannya di STITBU.
Akhirnya beliau pun tinggal di rumah sebelah timur warung Mak Ti (sekarang). Selama ±2 tahun beliau tinggal disitu. Setelah itu beliaupun pindah dan ngekost di sebelah mushalah Authon petengan Jombang.
Di tempat itulah beliau mulai menampung anak – anak, dlu’afa’ dan teman – teman sederajatnya yang ingin sekaligus minat belajar pada beliau.
Pada tahun 1994 beliau sudah memiliki ±8 santri yang berasal dari berbagai daerah atau kota seperti Tuban, Lamongan, Blora, Tulung Agung, dan lain – lain. Santri – santri itu pun kebanyakan kuliah sekaligus ngawula (mengabdi) pada kyai Imron. Walaupun saat itu Kyai Imron juga belum memiliki rumah sendiri.
Awal yang cemerlang bagi sesosok kyai mudah yang pada saat itu juga masih mengajar di MAN dan pendidikan formal yang lain. Kyai Imron cenderung memliki  pemikiran yang nyeleneh (aneh). Setiap apapun yang beliau hadapi, baik masalah, tantangan atau problem – problem kehidupan beliau lebih menitik beratkan pada solusi yang lebih menyendiri dan berlaku, “Intine seng penting nyampe pada tujuane” begitu kata beliau.
 Sebab itulah tak heran jika sosok kyai muda itu di idolakan oleh para muridnya juga para temannya, sehingga tak ayal makin lama santri dan peminat untuk belajar pada beliau.
  Karena banyaknya santri yang berminat belajar padanya, beliaupun mempuyai niatan untuk membeli tanah sekaligus mendirikan rumah sendiri pada tahun 1997/1998 beliau mencari tanah kosong yang dijual. Singkat cerita beliau menemukan tanah yang berdiri rumah kosong, dan cenderung mistis.
Konon rumah tu sangat angker dan tak satu pun orang berani membelinya. Akhirnya Kyai Imron datang dan mengajukan diri untuk membeli tanah itu. Dengan biaya yang terjangkau Kyai Imron pun membeli tanah seluas 16x30m2 yang letaknya sebelah timur jalan raya KH Wahab Chasbullah tambak beras Jombang Lebih tepat lagi 50 M sebelah utara lapangan tambak beras.
Disitulah Kyai Imron membangun rumahnya (sampai sekarang masih seperti dulu) dan memboyong semua santrinya ke rumah itu. Semakin lama para peminatnya sekaligus anak mudah yang ingn belajar padanya pun bertambah. Hal itu membuat beliau berfikir dan berniat mendirkan pondok/asrama. Beliaupun akhrnya sowan pada guru mursyidnya (KH Abdul Jalil Mustaqim) guru mursyid thorekot syadziliyah atas izin syeh Abdul Jalil akhirnya Kyai Imron membangun pondok Disisi kanan kiri rumahnya
      Sampai tahun 1999 Kyai Imton sudah mempuyai ±20 santri. Ketika itu pondok itupun belum memilki nama tersendiri, hanya dikenal sebagai “pondoknya Kyai Imron”. Pada akhir tahun 1999 atas inisiatif dari KH Abdul Jalil Mustaqim pondok itu diberi nama “Kyai Mojo”.
          Di situlah penulis memulai karir dan perjalananya yang sejati. Selain di Pesantren Kyai Mojo penulis juga meneruskan jenjang pendidikan formalnya di MAN Tambakberas selama tiga tahun, awal perjalanan di MAN pun penulis masih mengembangkan sayapnya di bidang prestasi, meskipun pada waktu setelahnya mulai redah dan mulai pudar sesuai dengan perkembangan teknologi sehinga tidak bisa dilacak lagi sampai seberapa besar prestasi penulis.
          Tiga tahun terlewatkan di MAN , tapi tidak terlewat dari Pesantren Kyai Mojo, Penulis mulai menapakkan kakinya satu tingkat. Beliau mulai diberi amanat mengajar oleh Syeh Imron Djamil. Walau sebelumnya tersendat perseteruan dan perdebatan antara orang tua, Syeh Afandi dan Yai Imron. Karena pada mulanya Sang Penulis sudah dirintis akan dikirim ke Syiria dan melanjutkan pendidikannya disana, tentunya dengan bea siswa yang sudah disiapkan oleh Syeh Afandi. Namun semua itu gagal karena satu prinsip “ Orang Tua dan Kyai itu lebih tau jalur seorang anak didik “. Akhirnya Si penulis dengan Sam’an wa Tho’atan tetap menitik pada pesantren Kyai Mojo. Tidak hanya sampai situ, rencana awal yang seharusnya penulis direncanakan melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi ternyata dibelokkan Oleh Yai Imron ke pendidikan salafiyah.
          Sering kali penulis menemukan hikmah-hikmah dari Sang Yai. Pola pemikiran yang aneh membuat Si Penulis berfikir panjang dan memutar balikkan otak. Tidak hanya si Penulis hampir keseluruhan santri yai Imron Juga merasakan hal yang sama. Akhirnya selama tiga tahun Si Penulis pun melanjutkan pendidikannya di MMA BU tambakberas.
          Sesuai dengan berjalanya waktu tidak terasa terlewatkan begitu saja, dengan berjuta-juta hikmah di dapatkan oleh Si Penulis.
          Jenjang selanjutnya atas saran dari Yai Imron juga Penulis melanjutkan jenjang pendidikanya di tingkat perguruan tinggi yaitu STAI BU Tambakberas Jombang.
          Pada periode inilah Penulis meletuskan pemikiran -pemikirannya dengan menulis. Beliau mulai merancang buku-buku. Dengan dimulai dari buku-buku mata pelajaran pesantren yang terkhusus menjadi cerminan di Pesantren Kyai Mojo. Kemudian berkembang dan berkembang ke bidang-bidang yang lain.
          Itulah Seuntai kisah perjalanan hidup penulis yang bisa kami uraikan . semoga Beliau selalu dalam keadaan sehat wal ‘afiyat, panjang umur, sehingga masih bisa hadir di tengah-tengah kita, juga semoga dzurriyah-dzurriyahnya  diberi kesehatan oleh Allah SWT, panjang umur, rizqi yang halal dan barokah dan kesemuanya di beri khusnul khotimah. Aamiin aamiin ya Robb al ‘alamin.

 Ø Jenjang Pendidikan Formal Penulis :
a.    TK Ds Mlangi
b.   SDN Mlangi Widang I ( 29 Juni 2001 )
c.    Mts Darul Ulum II Widang ( 28 Juni 2004 )
d.   MAN Tambakberas Jombang ( 16 Juni 2007 )
e.    MMA Tambakberas Jombang ( 26 April 2010 )
f.     STAI Bahrul Ulum Tambakberas Jombang 2010  s/d sekarang )

 Ø   Jenjang Pendidikan Non Formal
a.    Madrasah TPA ( 1998 s/d 2004 )
b.   Ponpes Kyai Mojo Tambakberas ( 2004 s/d sekarang )

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar