Ibrahim Bin Adham
Dia adalah raja di Balkh satu wilayah yang masuk dalam kerajaan Khurasan, menggantikan ayahnya yang baru mangkat.
Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, Ibrahim bin Adham juga bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan perak. Setiap kali keluar istana ia selalu di kawal 80 orang pengawal. 40 orang berada di depan dan 40 orang berada di belakang, semua lengkap dengan pedang yang terbuat dari baja yang berlapis emas.
Suatu malam, ketika sedang terlelap tidur di atas dipannya, tiba tiba ia dikejutkan oleh suara langkah kaki dari atas genteng, seperti seseorang yang hendak mencuri. Ibrahim menegur orang itu, “Apa yang tengah kamu lakukan di atas sana?” Orang itu menjawab, “Saya sedang mencari ontaku yang hilang.” “Apa kamu sudah gila, mencari onta di atas genteng,” sergahnya. Namun orang itu balik menyerang, “Tuan yang gila, karena tuan mencari Allah di istana.” Jawabannya membuat Ibrahim tersentak, tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Ia gelisah, kedua matanya tidak dapat terpejam, terus menerus menerawang merenungi kebenaran kata kata itu. Hingfa adzan Shubuh berkumandang Ia tetap terjaga.
Esok harinya, keadaannya tidak berubah. la gelisah, murung, dan sering menyendiri. la terus mencari jawaban di balik peristiwa malam itu.
Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya sedikin berkurang. Akan tetapi, sepertinya masalah itu terlalu berat baginya, sehingga tanpa disadarl kuda tunggangan yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya, ia terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus ke satu padang rumput yang luas. Kalau saja ia tidak terjatuh bersama kudanya, mungkin ia tidak berhenti.
Ketika ia berusaha bangun, tiba tiba seekor rusa melintas di depannya. Segera ia bangkit, menghela kudanya dengan cepat sambil mengarahkan tombaknya ke tubuh buruannya. Tetapi, saat dia hendak melemparkan tombaknya, ia mendengar bisikan keras seolah memanggil dirinya, “Wahai Ibrahim, bukan untuk itu (berburu) kamu diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!”
Namun, Ibrahim terus berlari sambil melihat kiri kanan, tapi tak seorang pun di sana, lalu ia berucap, “Semoga Allah memberikan kutukan kepada Iblis!”
Dia pacu kembali kudanya. Namun, lagi-lagi teguran itu datang. Hingga tiga kall. la lalu berhenti dan berkata, “Apakah itu sebuah peringatan dari Mu? Telah datang kepadaku sebuah peringatan dari Allah, Tuhan semesta alam. Demi Allah, seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari hari yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepada Nyal”
Setelah itu, ia menghampiri seorang penggembala kambing yang ada tidak jauh dari tempat itu. Lalu memintanya untuk menukar pakaiannya dengan pakaian yang ia pakal. Setelah mengenakan pakalan usang itu, ia berangkat menuju Makkah untuk mensucikan dirinya. Dari sinilah drama kesendirian Ibrahim bermula. Istana megah ia tinggalkan dan tanpa seorang pengawal ia berjalan kaki menyongsong kehidupan barunya.
Berbulan bulan mengembara, Ibrahim tiba di sebuah kampung bernama Bandar Nishafur. Di sana ia tinggal di sebuah gua, menyendiri, berdzikir dan memperbanyak lbadah. Hingga tidak lama kemudian, keshalihan, kezuhudan dan kesufiannya mulai dikenal banyak orang. Banyak di antara mereka yang mendatangi dan menawarkan bantuan kepadanya, tetapi Ibrahim selalu menolak.
Beberapa tahun kemudian, ia meninggalkan Bandar Nishafur, dan dalam perjalanan selanjutnya menuju Makkah, hampir di setiap kota yang ia singgahi terdapat kisah menarik tentang dirinya yang dapat menjadi renungan bagi kita, terutama keikhlasan dan ketawadhuannya.
Pernah satu ketika, di suatu kampung Ibrahim kehabisan bekal. Untungnya, ia bertemu dengan seorang kaya yang membutuhkan penjaga untuk kebun delimanya yang sangat luas. Ibrahim pun diterima sebagai penjaga kebun, tanpa disadari oleh orang tersebut kalau lelaki yang dipekerjakannya adalah Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang sudah lama ia kenal namanya. Ibrahim menjalankan tugasnya dengan baik tanpa mengurangi kuantitas ibadahnya.
Satu hari, pemilik kebun minta dipetikkan buah delima. Ibrahim melakukannya, tapi pemilik kebun malah memarahinya karena delima yang diberikannya rasanya asam. “Apa kamu tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam,” tegumya. “Aku belum pernah merasakannya, Tuan,” jawab Ibrahim. Pemilik kebun menuduh Ibrahim berdusta. Ibrahim lantas shalat di kebun itu, tapi pemilik kebun menuduhnya berbuat riya dengan shalatnya. “Aku belum pernah melihat orang yang lebih riya dibanding kamu.” “Betul tuanku, ini baru dosaku yang terlihat. Yang tidak, jauh lebih banyak lagi,” jawabnya. Dia pun dipecat, lalu pergi.
Di perjalanan, ia menjumpai seorang pria sedang sekarat karena kelaparan. Buah delima tadi pun diberikannya. Sementara itu, tuannya terus mencarinya karena belum membayar upahnya. Ketika bertemu, Ibrahim meminta agar gajinya dipotong karena delima yang ia berikan kepada orang sekarat tadi. “Apa engkau tidak mencuri selain itu?” tanya pemilik kebun. “Demi Allah, jika orang itu tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu,” tegas Ibrahim.
Setahun kemudian, pemilik kebun mendapat pekerja baru. Dia kembali meminta dipetikkan buah delima. Tukang baru itu memberinya yang paling manis. Pemilik kebun bercerita bahwa ia pernah memiliki tukang kebun yang paling dusta karena mengaku tak pernah mencicipi delima, memberi buah delima kepada orang yang kelaparan, minta dipotong upahnya untuk buah delima yang ia berikan kepada orang kelaparan itu. “Betapa dustanya dia,” kata pemilik kebun.
Tukang kebun yang baru lantas berujar, “Demi Allah, wahai majikanku. Akulah orang yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang raja yang lantas meninggalkan istananya karena zuhud.” Pemilik kebun pun menyesali tindakannya, “Celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tak pernah aku temui.”
Menjelang kedatangannya di Kota Makkah, para pemimpin dan ulama bersama sama menunggunya. Namun tak seorang pun yang mengenali wajahnya. Ketika kafilah yang diikutinya memasuki gerbang Kota Makkah, seorang yang diutus menjemputnya bertanya kepada Ibrahim, “Apakah kamu mengenal Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang terkenal itu?” “Untuk apa kamu menanyakan si ahli bid’ah itu?” Ibrahim balik bertanya.
Mendapat jawaban yang tidak sopan seperti itu, orang tersebut lantas memukul Ibrahim, dan menyeretnya menghadap pemimpin Makkah. Saat diinterogasi, jawaban yang keluar dari mulutnya tetap sama, “Untuk apa kalian menanyakan si ahli bid’ah itu?” Ibrahim pun disiksa karena dia dianggap menghina seorang ulama agung. Tetapi, dalam hatinya Ibrahim bersyukur diperlakukan demikian, ia berkata, “Wahai Ibrahim, dulu waktu berkuasa kamu memperlakukan orang seperti ini. Sekarang, rasakanlah olehmu tangan-tangan penguasa ini.”
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan seorang bekas penguasa seperti Ibrahim bin Adham, dari pengalamannya memperbalki diri, dari kesendiriannya menebus segala kesalahan dan kelalaian, dari keikhlasan, kezuhudan, dan ketawadhuannya yang tak ternilai.
Sumber Majalah [tarbawi], 7 Rabiul Awal 1426/28 April 2005
Burung Sehat & Burung Cacat
Syaqiiq al-Balkhi adalah teman Ibrahim bin Adham yang dikenal ahli ibadah, zuhud dan tinggi tawakalnya kepada Allah. Hingga pernah sampai pada tataran enggan untuk bekerja.
Penasaran dengan keadaan temannya, Ibrahim bin Adham bertanya,
“Apa sebenamya yang menyebabkan Anda bisa seperti ini?”
Syaqiiq menjawab,
“Ketika saya sedang dalam perjalanan di padang yang tandus, saya melihat seekor burung yang patah kedua sayapnya.
Lalu saya berkata dalam hati, aku ingin tahu, dari mana burung itu mendapatkan rizki. Maka aku duduk memperhatikannya dari jarak yang dekat.
Tiba-tiba datanglah seekor burung yang membawa makanan di paruhnya. Burung itu mendekatkan makanan ke paruh burung yang patah kedua sayapnya untuk menyuapinya.
Maka saya berkata dalam hati, “Dzat yang mengilhami burung sehat untuk menyantuni burung yang patah kedua sayapnya di tempat yang sepi ini pastilah berkuasa untuk memberiku rejeki di manapun aku berada.”
Maka sejak itu, aku putuskan untuk berhenti bekerja dan aku menyibukkan diriku dengan ibadah kepada Allah.
Mendengar penuturan Syaqiiq tersebut Ibrahim berkata,
“Wahai Syaqiiq, mengapa kamu serupakan dirimu dengan burung yang cacat itu? Mengapa Anda tidak berusaha menjadi burung sehat yang memberi makan burung yang sakit itu?
Bukankah itu lebih utama?
Bukankah Nabi bersabda,
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah?”
Sudah selayaknya bagi seorang mukmin memilih derajat yang paling tinggi dalam segala urusannya, sehingga dia bisa mencapai derajat orang yang berbakti?
Syaqiiq tersentak dengan pernyataan Ibrahim dan ia menyadari kekeliruannya dalam mengambil pelajaran. Serta merta diraihnya tangan Ibrahim dan dia cium tangan itu sambil berkata, “Sungguh. Anda adalah ustadzku, wahai Abu Ishaq (Ibrahim).”
(Tarikh Dimasyqi, Ibnu Asakir)
Hanya Kerana Sebutir Kurma
Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke mesjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram.Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya.
Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. 4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH SWT,” kata malaikat yang satu.
“Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram,” jawab malaikat yang satu lagi..
Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.
“Astaghfirullahal adzhim” Ibrahim beristighfar. Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. “4 bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?” tanya Ibrahim.
“Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma” jawab anak muda itu.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?”. Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat.
“Nah, begitulah” kata ibrahim setelah bercerita,
“Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?”.
“Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.”
“Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu.”
Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh ibrahim.
4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra. Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. “Itulah ibrahim bin adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain.” “O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu.. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”
10 Nasihat Ibrahim bin Adham
Suatu ketika Ibrahim bin Adham, seorang alim yang terkenal zuhud dan wara’nya, melewati pasar yang ramai. Selang beberapa saat beliau pun dikerumuni banyak orang yang ingin minta nasehat. Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai Guru! Allah telah berjanji dalam kitab-Nya bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-Nya. Kami telah berdoa setiap hari, siang dan malam, tapi mengapa sampai saat ini doa kami tidak dikabulkan?”
Ibrahim bin Adham diam sejenak lalu berkata, “Saudara sekalian. Ada sepuluh hal yang menyebabkan doa kalian tidak dijawab oleh Allah.
Pertama, kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-hak-Nya.
Kedua, kalian membaca Al-Quran, tapi kalian tidak mau mengamalkan isinya.
Ketiga, kalian mengakui bahwa iblis adalah musuh yang sangat nyata, namun dengan suka hati kalian mengikuti jejak dan perintahnya.
Keempat, kalian mengaku mencintai Rasulullah, tetapi kalian suka meninggalkan ajaran dan sunnahnya.
Kelima, kalian sangat menginginkan surga, tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga.
Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka.
Ketujuh, kalian mengaku bahwa kematian pasti datang, namun tidak pernah mempersiapkan bekal untuk menghadapinya.
Kedelapan, kalian sibuk mencari aib orang lain dan melupakan cacat dan kekurangan kalian sendiri.
Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya.
Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang serupa.”
Setelah mendengar nasehat itu, orang-orang itu menangis.
Dalam kesempatan lain Ibrahim kelihatan murung lalu menangis, padahal tidak terjadi apa-apa. Seseorang bertanya kepadanya. Ibrahim menjawab, “Saya melihat kubur yang akan saya tempati kelak sangat mengerikan, sedangkan saya belum mendapatkan penangkalnya. Saya melihat perjalanan di akhirat yang begitu jauh, sementara saya belum punya bekal apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili semua makhluk di Padang Mahsyar, sementara saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan saya selama hidup di dunia.”
Duduk Bertumpang Kaki
Seorang sufi ternama, Ibrahim bin Adham, dikenal orang tak pernah duduk dengan menumpangkan kakinya. Seorang muridnya kehairanan dan bertanya, “Wahai Guru, mengapa kau tak pernah duduk dengan bertumpang kaki?”
“Aku pernah melakukan itu satu kali,” jawab Ibrahim, “Tapi kemudian aku dengar sebuah suara dari langit: Hai Anak Adham, apakah seorang hamba duduk seperti itu di hadapan tuannya?” Aku segera duduk tegak dan memohon ampun.”
Sebutir Kurma Pengganjal Doa
Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke Mesjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya.
Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. 4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH SWT,” kata malaikat yang satu. “Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram,” jawab malaikat yang satu lagi.
Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.
“Astaghfirullahal adzhim” Ibrahim beristighfar.
Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya. Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda.
Ketika Ibrahim Bin Adham Menangis
Suatu hari, seorang tokoh sufi besar, Ibrahim bin Adham, mencoba untuk memasuki sebuah tempat pemandian umum. Penjaganya meminta wang untuk membayar karcis masuk. Ibrahim menggeleng dan mengaku bahwa ia tak punya wang untuk membeli karcis masuk.
Penjaga pemandian lalu berkata, “Jika engkau tidak punya wang, engkau tak boleh masuk.”
Ibrahim seketika menjerit dan tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar ratapan-ratapan kesedihan. Para pejalan yang lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan menawarinya wang agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.
Ibrahim menjawab, “Aku menangis bukan karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini. Ketika si penjaga meminta ongkos untuk membayar karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu yang membuatku menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini kecuali jika aku membayar tiket masuknya, harapan apa yang boleh kumiliki agar diizinkan memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika mereka menuntut: Amal salih apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau kerjakan yang cukup berharga untuk boleh dimasukkan ke surga? Sama ketika aku diusir dari pemandian karena tak mampu membayar, aku tentu tak akan diperbolehkan memasuki surga jika aku tak mempunyai amal salih apa pun. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”
Dan orang-orang di sekitarnya yang mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama Ibrahim.
Delapan Sifat Kaum Sufi
Dalam ajaran Sufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Sufi memiliki:
Kemurahan hati seperti Ibrahim a.s.;
Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail a.s.;
Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya’kub a.s.;
Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria a.s.;
Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya a.s.;
Jubah wool seperti mantel gembala Musa a.s.;
Pengembaraan, seperti perjalanan Isa a.s.;
Kerendah-hatian, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad saw.
Asy-Syibli Dan Al-Junaid
Abu Bakr ibnu Dulaf ibnu Jahdar (‘asy-Syibli’), dan Abul Qasim Al-Junaid, si ‘Merak Kaum Terpelajar’, adalah dua guru Sufi awal. Mereka berdua hidup dan mengajar lebih dari seribu tahun yang lalu. Kisah tentang masa belajar Asy-Syibli di bawah Al-Junaid, diberikan di sini, diambil dari The Revelation of the Veiled, salah satu dari buku-buku penting dalam bidangnya. Al-Junaid sendiri memperoleh spiritualitasnya melalui pengaruh Ibrahim ibnu Adham (‘Ibnu Adhem’ dalam puisi Leigh Hunt), ia sebagaimana Budha, adalah seorang pangeran yang turun tahta mengikuti tarekat (Jalan), dan meninggal pada abad kedelapan.
Asy-Syibli, anggota istana yang angkuh, pergi ke Al-Junaid, mencari pengetahuan sejati. Katanya, “Aku dengar bahwa engkau mempunyai karunia pengetahuan. Berikan, atau jual lah padaku.”
Al-Junaid berkata, “Aku tidak dapat menjualnya padamu, karena engkau tidak mempunyai harganya. Aku tidak memberikan padamu, karena yang akan kau miliki terlalu murah. Engkau harus membenamkan diri ke dalam air, seperti aku, supaya memperoleh mutiara.”
“Apa yang harus kulakukan?” Tanya Asy-Syibli.
“Pergilah dan jadilah penjual belerang.”
Setahun berlalu, Al-Junaid berkata padanya, “Engkau maju sebagai pedagang. Sekarang menjadi darwis, jangan jadi apa pun selain mengemis.”
Asy-Syibli menghabiskan satu tahun mengemis di jalanan Baghdad, tanpa keberhasilan. Ia kembali ke Al-Junaid, dan sang Guru berkata kepadanya:
BIOGRAFI IBROHIM BIN ADHAM
03.07 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar